1.
Mengapa
di era yang mengedepankan demokrasi ternyata masih banyak orang-orang yang
memaksakan kehendaknya, melalui berbagai bentuk agresi?
Sebelum kita bahas lebih dalam harus kita ketahui
bahwa demokrasi yang di ada Negara tercinta kita ini hanyalah sebuah sistem
atau alat yang dijadikan untuk memberikan ruang aspirasi atau kebebasan
berpendapat bagi setiap individu. Dan setiap individu pasti mempunyai
kecendrungan untuk mengedepankan kehendaknya sendiri pada orang lain atau
kelompok, supaya pendapat atau kehendaknya bisa diterima. Sehingga dengan itu
kalau masing-masing individu atau kelompok tidak memahami etika dan tata cara
dalam berdemokrasi di Negara ini maka disaat aspirasi atau pendapatnya tidak
diterima oleh yang lainnya dia akan melakukan hal apapun, dia akan tetap
bersikeras memaksakan kehendaknya untuk bisa diterima dan dibenarkan oleh
kelompok atau individu lain. Dan selain itu biasanya mereka juga tidak mau menerima
pendapat orang lain. Sedangkan bagi mereka yang memahami dan tau pada etika
tata cara dalam berdemokrasi, maka mereka akan menerima dengan lapang dada
meskipun aspirasi dan pendapatnya tidak diterima oleh kelompok lain. Maka dari
itu, selama masing-masing individu atau kelompok masih belum memahami tata cara
dan etika dalam berdemokrasi di negeri Indonesia tercinta ini, yang namanya
kekerasan dan pemaksaan kehendak akan terus terjadi sepanjang masa.
Disaat individu atau kelompok ingin memaksakan
kehendaknya tidak mustahil dia akan melakukan berbagai bentuk agresi, termasuk
rela melakukan apa saja demi untuk memperjuangkan pendapatnya. Sebab, setiap
individu tidak akan lepas dengan yang namanya agresi. Sifat agresi sudah dibawa
oleh masing-masing individu sejak lahir. Dan menurut Myers & Gerungan sifat
agresi akan lebih kuat atau lebih besar jika terpengaruhi oleh lingkungan dan
dalam jumlah yang banyak. Artinya, jika seorang individu atau kelompok berada
dalam suatu organisasi atau kelompok-kelompok tertentu yang secara bersamaan
memiliki tujuan yang sama maka itu akan lebih besar kemungkinannya untuk
melakukan berbagai bentuk agresi. Maka dari itu tidak salah serta jangan heran jika bangsa kita sampai saat ini masih banyak
yang melakukan berbagai bentuk agresi demi memaksakan kehendaknya dlam
berdemokrasi.
Pengetian dari agresi itu sendiri menurut Buss
adalah suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam, dan
membahayakan individu atau objek-objek tertentu yang menjadi sasaran, baik
secara fisik atau verbal dan secara langsung maupun tidak langsung. Ada banyak
faktor yang menyebabkan timbulnya agresi, diantara salah satunya menurut
Gerungan dalam teori lingkungan adalah faktor frustasi. Dimana dalam teori itu
mengatakan bahwa perilaku agresi dilakukan oleh orang-orang yang mengalami frustasi
apabila maksud dan keinginan yang diperjuangkan secara intensif mengalami
hambatan atau kegagalan.
Jadi jelaslah kenapa sampai sekarang ini masih
banyak orang-orang yang memaksakan kehendaknya melalui berbagai bentuk agresi
seperti yang terjadi pada kasus di Mojokerto tahun 2010. Itu semua disebabkan
karena adanya rasa kecewa atau frustasi lantaran keinginan dan tujuannya tidak
terpenuhi atau mengalami kegagalan.
2.
Mengapa
pendukung K. H. Ahmad Dimyati Rosyid melakukan anarkisme, padahal mereka bukan
keluarga atau famili dari Ahmad Dimyati Rosyid ( merek adalah orang lain )?
Dalam kehidupan ini antara manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya mempunyai sebuah ikatan, yaitu ikatan emosional. Dimana
dengan ikatan emosional itu antara manusia yang satu dengan manusia yang
lainnya bisa menjalin hubungan kekerabatan yang erat, saling membantu sama
lain, dan saling melengkapi di dalam memperjuangkan kehidupan bermasyarakat
ini. Ikatan emosional ini terjadi tidak hanya diikat atau dilatarbelakangi oleh
faktor keluarga ( ikatan darah ) saja, melainkan banyak lagi faktor lainnya
seperti kelompok-kelompok tertentu, partai, organisasi, profesi, suku, dan
agama. Nah, dengan ikatan emosional ini jika dalam suatu kelompok tertentu ada
salah satu anggota yang mengalami permasalahan maka secara otomatis anggota
kelompok yang lainnya akan membantu memberikan dukungan dalam menyelesaikan
masalah tersebut. Contoh, jika salah seorang karyawan suatu pabrik dianiaya
atau diberlakukan tidak adil oleh atasannya maka otomatis teman karyawan
lainnya akan membantu memperjuangkan semua itu. Sama halnya seperti yang
terjadi pada kasus di Mojokerto dimana para pendukung cabup K. H. Ahmad Dimyati
Rosyid meskipun bukan keluarganya mereka tetap ngotot tidak terima dan kecewa
terhadap keputusan tidak lolosnya cabup Dimyati. Sehingga mereka melakukan aksi
yang anarkis demi menyampaikan rasa kekecewaannya kepada para pejabat di kantor
DPRD. Itu semua hanya karena ada keterikatan emosional antara para pendukung
cabup Dimyati dengan kru Dimyati dalam satu kelompok, baik itu organisasi
maupun partai politik.
Namun yang jadi pertanyaan lagi, mengapa mereka para
pendukung Dimyati harus bertingkah anarkis? Menurut Coser konflik ada dua
macam, yaitu konflik realistis dan konflik non-realistis. Pengertian dari
konflik realistis adalah konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap
tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan
kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada objek yang
dianggap telah mengecewakan. Seperti apa yang telah dikatakan oleh Lewis A.
Coser dalam teori konfliknya bahwa peristiwa atau fenomena yang terjadi di
Mojokerto masuk dalam kategori konflik secara social. Dari sini kita dapat
menyimpulkan bahwa peristiwa yang
terjadi di Mojokerto adalah konflik realistis, dimana peristiwa itu terjadi
karena adanya kekecewaan para pendukung Dimyati terhadap KPU Mojokerto yang tidak
meloloskan pasangan Dimyati dalam pilkada. Sehingga dengan rasa kecewa itulah tindakan
anarkis terjadi.
~SEKIAN~
~GO ON SUCCESS~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar