Muhammad Antoso


Selamat Datang di Blogs Antok Pemuda Sumenep Semoga Bermanfaat

Rabu, 15 Agustus 2012

ANALISIS FENOMENA SOSIAL “ TRAGEDI MOJOKERTO ” ( JUM’AT, 21 MEI 2010 )

1.      Mengapa di era yang mengedepankan demokrasi ternyata masih banyak orang-orang yang memaksakan kehendaknya, melalui berbagai bentuk agresi?

Sebelum kita bahas lebih dalam harus kita ketahui bahwa demokrasi yang di ada Negara tercinta kita ini hanyalah sebuah sistem atau alat yang dijadikan untuk memberikan ruang aspirasi atau kebebasan berpendapat bagi setiap individu. Dan setiap individu pasti mempunyai kecendrungan untuk mengedepankan kehendaknya sendiri pada orang lain atau kelompok, supaya pendapat atau kehendaknya bisa diterima. Sehingga dengan itu kalau masing-masing individu atau kelompok tidak memahami etika dan tata cara dalam berdemokrasi di Negara ini maka disaat aspirasi atau pendapatnya tidak diterima oleh yang lainnya dia akan melakukan hal apapun, dia akan tetap bersikeras memaksakan kehendaknya untuk bisa diterima dan dibenarkan oleh kelompok atau individu lain. Dan selain itu biasanya mereka juga tidak mau menerima pendapat orang lain. Sedangkan bagi mereka yang memahami dan tau pada etika tata cara dalam berdemokrasi, maka mereka akan menerima dengan lapang dada meskipun aspirasi dan pendapatnya tidak diterima oleh kelompok lain. Maka dari itu, selama masing-masing individu atau kelompok masih belum memahami tata cara dan etika dalam berdemokrasi di negeri Indonesia tercinta ini, yang namanya kekerasan dan pemaksaan kehendak akan terus terjadi sepanjang masa.
Disaat individu atau kelompok ingin memaksakan kehendaknya tidak mustahil dia akan melakukan berbagai bentuk agresi, termasuk rela melakukan apa saja demi untuk memperjuangkan pendapatnya. Sebab, setiap individu tidak akan lepas dengan yang namanya agresi. Sifat agresi sudah dibawa oleh masing-masing individu sejak lahir. Dan menurut Myers & Gerungan sifat agresi akan lebih kuat atau lebih besar jika terpengaruhi oleh lingkungan dan dalam jumlah yang banyak. Artinya, jika seorang individu atau kelompok berada dalam suatu organisasi atau kelompok-kelompok tertentu yang secara bersamaan memiliki tujuan yang sama maka itu akan lebih besar kemungkinannya untuk melakukan berbagai bentuk agresi. Maka dari itu tidak salah serta jangan heran  jika bangsa kita sampai saat ini masih banyak yang melakukan berbagai bentuk agresi demi memaksakan kehendaknya dlam berdemokrasi.
Pengetian dari agresi itu sendiri menurut Buss adalah suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam, dan membahayakan individu atau objek-objek tertentu yang menjadi sasaran, baik secara fisik atau verbal dan secara langsung maupun tidak langsung. Ada banyak faktor yang menyebabkan timbulnya agresi, diantara salah satunya menurut Gerungan dalam teori lingkungan adalah faktor frustasi. Dimana dalam teori itu mengatakan bahwa perilaku agresi dilakukan oleh orang-orang yang mengalami frustasi apabila maksud dan keinginan yang diperjuangkan secara intensif mengalami hambatan atau kegagalan.
Jadi jelaslah kenapa sampai sekarang ini masih banyak orang-orang yang memaksakan kehendaknya melalui berbagai bentuk agresi seperti yang terjadi pada kasus di Mojokerto tahun 2010. Itu semua disebabkan karena adanya rasa kecewa atau frustasi lantaran keinginan dan tujuannya tidak terpenuhi atau mengalami kegagalan.

2.      Mengapa pendukung K. H. Ahmad Dimyati Rosyid melakukan anarkisme, padahal mereka bukan keluarga atau famili dari Ahmad Dimyati Rosyid ( merek adalah orang lain )?

Dalam kehidupan ini antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya mempunyai sebuah ikatan, yaitu ikatan emosional. Dimana dengan ikatan emosional itu antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya bisa menjalin hubungan kekerabatan yang erat, saling membantu sama lain, dan saling melengkapi di dalam memperjuangkan kehidupan bermasyarakat ini. Ikatan emosional ini terjadi tidak hanya diikat atau dilatarbelakangi oleh faktor keluarga ( ikatan darah ) saja, melainkan banyak lagi faktor lainnya seperti kelompok-kelompok tertentu, partai, organisasi, profesi, suku, dan agama. Nah, dengan ikatan emosional ini jika dalam suatu kelompok tertentu ada salah satu anggota yang mengalami permasalahan maka secara otomatis anggota kelompok yang lainnya akan membantu memberikan dukungan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Contoh, jika salah seorang karyawan suatu pabrik dianiaya atau diberlakukan tidak adil oleh atasannya maka otomatis teman karyawan lainnya akan membantu memperjuangkan semua itu. Sama halnya seperti yang terjadi pada kasus di Mojokerto dimana para pendukung cabup K. H. Ahmad Dimyati Rosyid meskipun bukan keluarganya mereka tetap ngotot tidak terima dan kecewa terhadap keputusan tidak lolosnya cabup Dimyati. Sehingga mereka melakukan aksi yang anarkis demi menyampaikan rasa kekecewaannya kepada para pejabat di kantor DPRD. Itu semua hanya karena ada keterikatan emosional antara para pendukung cabup Dimyati dengan kru Dimyati dalam satu kelompok, baik itu organisasi maupun partai politik.
Namun yang jadi pertanyaan lagi, mengapa mereka para pendukung Dimyati harus bertingkah anarkis? Menurut Coser konflik ada dua macam, yaitu konflik realistis dan konflik non-realistis. Pengertian dari konflik realistis adalah konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada objek yang dianggap telah mengecewakan. Seperti apa yang telah dikatakan oleh Lewis A. Coser dalam teori konfliknya bahwa peristiwa atau fenomena yang terjadi di Mojokerto masuk dalam kategori konflik secara social. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa peristiwa  yang terjadi di Mojokerto adalah konflik realistis, dimana peristiwa itu terjadi karena adanya kekecewaan para pendukung Dimyati terhadap KPU Mojokerto yang tidak meloloskan pasangan Dimyati dalam pilkada. Sehingga dengan rasa kecewa itulah tindakan anarkis terjadi.










~SEKIAN~
~GO ON SUCCESS~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar