Pertama : Sebetulnya Tbarru, Tawassul, dan Istighosah kurang lebih makna dan hakekatnya adalah sama. Al Hafizh Taqiyyudin as-Subki mengatakan dalam syifa’ as-saqaam ( hal. 161 ) :
“tentang makna dan substansi ini, tidak ada bedanya jika diungkapkan dengan kata Tawassul, Isti’anah, Tasayffu’ atau Tawajjuh. Ooorrrang yang berdo’a dengan do’a tersebut dan yang semakna dengannya berarti sedag bertawassul dengan Nabi karena Nabisebagai wasilah agar Allah mengabulkan do’anya, beristighosah dengannya – maknanya adalah bahwa ia memohon pertolongan kepada Allah dengan Nabi untuk maksud yang ia tuju, jadi huruf Ba’ di sini bermakna Sababiyah, dan kadang juga bermakna Ta’diyah ( membuat fi’il menjadi muta’addi ) seperti jika anda mengatakan : orang yang meminta pertolongan kepadamu maka tolonglah dia, berisytisyfa’, bertajawwuh, dan bertawajjuh dengannya, karena Tajawwuh dan Tawajjuh kembali kepada makna yang sama.
Jadi, karena substansi Tabarruk, Tawassul, dan Istighosah kurang lebih sama, maka dalil-dalil yang disebutkan untuk masing-masing dari tiga hal ini sebetulnya bisa dijadikan sebagai dalil untuk yng lain.
Kedua : Tabarruk, Tawassul, dan Istighosah bukan ibadah kepada selain Allah. Ketika seseorang memanggil orang yang hidup dan ghaib ( tidak hadir di tempat ) atau orang yang sudah meninggal, beristighosah kepada selain Allah, beristianah kepada selain Allah, menyengaja pergi ke kuburan Nabi atau wali dengan tujuan Tabarruk, Tawassul, dan Istighosah, orang tersebut tidak beribadahkepada selain Allah. Karena ia tidak meyakini bahwa para Nabi, wali atau orang-orang sholeh tersebut menciptkan manfaat dan menjauhkannya dari mara bahaya, ia juga tidak mempersembahkan puncak ketundukannya kepada Nabi dan wali tersebut. Keyakinan orang tersebut tiada lain bahwa Nabi, wali dan orang soleh hanyalah sebab. Jadi ketika mereka bertabarruk, bertawassul, dan beristighosah mereka tidak melakukan perbuatan syirik, beribadah kepada selain Allah, karena alasan-alasan sebagai berikut:
1. tabarruk, Tawassul, dan Istighosah tidak mengandung makna ibadah, yang jika dipersembahkan kepada selain Allah maka seseorang akan jatuh pada perbuatan syirik.
2. Syirik akan terjadi bila seseorang meminta kepada selain Allah sesuatu yang khusus bagi Allah seperti menciptakan sesuatau dari tidak ada menjadi ada, meminta ampunan dari dosa dan semacamnya.
Ketiga : Tela dijelaskan bahwa Tawassul, Tabarruk, dan Istighosah adalah sabab syar’I agar do’a dan permohonan hamba dikabulkan oleh Allah sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan adalah Allah sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhanjika obat dalam contoh ini adalah sabab ‘aadi, maka Tawassul adalah sabab syar’I, maka Rasulullah tidak akan mengajarkan orang buta yang dating kepadanya agar bertawassul kepadanya. Jadi orang yang bertawassul meyakini bahwa para Nabi, wali, dan orang soleh adalah sebab-sebab yang dijadikan oleh Allah untuk memperoleh manfaat dengan izin-Nya.
Keempat : kalangan yang anti Tawassul sering mengatakan: kenpa kalian tidak memohon langsung kepada Allah, tidak perlu pakai Tawassul dan yang lainnya.
Jawab : ini adalah perkataan yang tidak bermakna sama sekali. Karena syara’ memberi kelonggran kepada seorang mukmin untuk meminta keperluannya kepada Allah tanpa Tawassul dan boleh dengan Tawassul. Kemudian ketika bertawassul-pun seseorang sesungguhnya meminta kepada Allah.
Kelima : Orang yang anti Tawassul, Tabarrruk, dan Istighosah sering mengatakan : jika hokum Tawassul masih diperdebatkan maka sebaiknya berdo’a saja kepada Allah tanpa Tawassul.
Jawab : orang yang mengatakan demikian berarti memang telah terpengaruh oleh ajaran anti Tawassul. Bukankah telah dikemukakan kebolehan Tawassul dengan dalil-dalilnya! Kita tidak pernah meyakini bahwa Tawassul adalah wajib. Keyakinan kitaadalah berdo’a dengan atau tanpa Tawassul adalah boleh. Namun, karena Rasulullah sendiri yang mengajarkan Tawassul, maka kita bertawassul dan meyakini bahwa Tawassul adalah salah satu sebab do’a seorang hamba.
Keenam : Faedah Imam al-Bukhori dalam sahihnya meriwayatkan hadits qudsi dari sahabat Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda :
“Allah ta’ala berfirman: Barang siapa memusuhi salah seorang wali-Ku, maka ia telah berperang dengan-K. dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepadaku denagn sesuatu yang lebih Aku cintai dari hal-hal yang Aku wajibkan. Dan hamba-Ku akan terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintai-Nya, dan jika Aku telah mencintai-Nya maka Aku akan memelihara pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya dari perbuatan maksiat, dan jika ia meminta sesuatu kepada-Ku pasti Aku berikan, dan jika ia memohon perlindungan pada-Ku pasti Aku melindunginya.” ( H.R. al-Bukhari dan hadis ini adalah hadis ke-38 al-arba’in an-Nawawiyyah ).
Karena para Nabi, para wali dan orang-orang saleh adalah Ahbabullah ( kekasih-kekasih Allah ) dan jika mereka memohon kepada Allah, Allah pasti akan kabulkan, dan jika mereka memohon perlindunagn, Allah akan beri perlindunagn, mka kita bertawassuldengan mereka agar dengan sebab syafa’at do’a, kemuliaan ketinggian derajat mereka dikabulkan permohonan kita kepada Allah. Dan karena kemuliaan, ketinggin derajat, do’a dan syafa’at mereka tidak berhenti dan terputus dengan meninggalnya mereka, maka boleh bertawassul dengan mereka meskipun mereka telah meninggal.
Hal- hal yang diperbolehkan dan dilarang saat ziarah kubur
Dimakruhkan dengan sangat duduk di atas kuburan, menginjak kuburan dengan kaki tanpa ada kebutuhan, jika ada kebutuhan tidak dimakruhkan menginjak kuburan. Ini kalau memang tidak terdapat tulisan yang diagungkan di atas kuburan seperti ayat al-Qur’an, asma’ Allah dan semacamnya.
Diharamkan thawaf mengelilingi kuburan para wali seperti yang dilakukan oleh sebagian orang di kuburan al-Husen di Mesir. Melainkan yang seyogyanya dilakukan adalah berdiri di hadapan bagian kepala mayit, mengucapkan salam kepadanya lalu berdo’a kepada Allah dengan mengangkat tangan atau tanpa mengangkt tangan.
Meletakkan tangn di dinding kuburan hukumnya boleh. Sebagin ulama’ mazhab Syafi’ie menganggap makruh hal itu. Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan kalau tujuannya adalah untuk tabarruk boleh dan tidak bermasalah, yakni jika peziarah meyakini bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan menjauhkan dari mudlarat kecuali Allah dan tujuannya adalah agar Allah menjadikan ziarahnya kepada seorang wali tersebut sebagai sebab mendapatkan manfaat dan dijauhkan dari mudlarat.
Tradisi ziarah ke makam wali songo atau para auliya’ yang lain dengan tujuan berdo’a, bertawassul, bertabarruk, dan beristighosah di sana hukumnya adalah boleh, bukan kufur atau syirik, bahkan bukan perkara haram. Sebaliknya tradisi seperti itu telah berlangsung dari zaman para sahabat Nabi, para ulama’ salaf dan khalaf hingga kini.
Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya adzkaar ( hal. 168 ):
“disunnahkan memperbanyak ziarah kubur dan disunnahkan pula berlama-lama di kuburan para Ahlul Khair Wa al-Fadll ( para shalihin dan ulama’ ‘amilin ).”
Ibnu al-Hajj al Maliki yang dikenal sangat mengingkari bid’ah-bid’ah mengatakan dalam kitabnya al-Madkhal ( 1/259-260 ):
“jadi bertawassul dengan Nabi adalah sebab dihapusnya beban-beban dosa dan beratnya maksiat dan kesalahan karena berkah syafa’atnya dan agungnya syafa’at tersebut tidak tertandingi oleh besarnya dosa apapun, karena syafa’at Rasulullah itu lebih agung dari semuanya. Oleh karenanya hendaklah bergembira dan penuh harap orang yang bisa berziarah kepadanya, dan orang yang tidak bisa berziarah kepadanya hendaklah memohon kepada Allah dengan syafa’at Nabi-Nya, Ya Allah, janganlah Engkau halangi kami dari syafa’atnya dengan kemuliaannya menurut-Mu, Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Dan barang siapa menyalahi keyakinan ini dialah orang yang terhalang dan tidak memperoleh rahmat Allah, tidaklah ia mendengar firman Allah yang maknanya : “sesungguhnya jikalau mereka ketika mendzalimi diri mereka berbuat maksiat kepada Allah kemudian dating kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulullah-pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah maha menerima taubat lagi maha penyayang” ( an-Nisa’ : 64 ). Jadi orang yang mendatangi Rasulullah dan mengharap kepadanya serta bertawassul dengannya dia akan mendapati Allah menerima taubatnya dan merahmatinya, karena Allah ta’ala maha suci dari menyalahi janji. Dan Allah telah menjajikan akan menerima taubat orang yang mendatangi Nabi, mengharap kepadanya serta meminta kepadanya dan memohon ampun kepada tuhannya. Dan tidak ada yang meragukan hal ini keculi orang yang menolak agama dan menentang Allah dan Rasul-Nya, kita memohon perlindungan kepada Allah dari penyimpangan ini.
Ibnu “Aqil al Hambali, seorang ulama’ besar dengan tingkatan Ashhab al Wujuh dalam madzhab Hambali, menegaskan dalam karyanya at-Tadzkirah bahwa diantara do’a yang disunnahkan dibaca ketika berziarah ke makam Nabi :
“Ya Allah, Engkau telah firmankan dalam kitab-Mu kepada Nabi-Mu: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika mendzalimi diri mereka berbuat maksiat kepada Allah kemudian datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulullah-pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah maha menerima taubat lagi maha penyayang. “Sungguh aku telah mendatangi Nabi-Mu untuk bertaubat dan memohon ampun, maka aku memohon kepada-Mu untuk memberikan ampunan kepadaku sebagaimana Engkau berikan kepada orang yang mendatanginya di masa hidupnya, Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan Nabi-Mu, Nabi pembawa rahmat, Wahai Rasulullah aku memohon kepada Allah denganmu agar Allah ampuni dosa-dosaku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar