Muhammad Antoso


Selamat Datang di Blogs Antok Pemuda Sumenep Semoga Bermanfaat

Kamis, 28 Juni 2012

LAPORAN Observasi Gangguan Menulis (Disgrafia) Pada Siswa Kelas VII SMP


Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan
Untuk Memperoleh Kelulusan Pada Mata Kuliah Psikodiagnostik II


 









Oleh:
                     Moh Antoso             (B07210076)

Dosen Pembimbing:
Nailatin Fauziyah, S.Psi, M.Si

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012


HALAMAN PENGESAHAN
Laporan ini telah dipertahankan di depan Tim Penguji
Surabaya,   Juli 2012

Mengesahkan
Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Dekan,


Dr. Aswadi, M.Ag
NIP:…………………..
Kaprodi. Psikologi,

DR. dr. Hj. Nur Asiyah, M.Si
NIP:…………………
Penguji I,


……………………
NIP:…………………
Penguji II,

………………………….
NIP:………………………

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Allah maha pengasih lagi maha penyayang, Segala puja dan puji syukur kami ucapkan kehadirat Ilahi Robbi, dengan karunia, taufiq, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat menikmati hidup dimuka bumi ini, yang penuh rahmat dan kasih sayang-Nya, hingga kami tumbuh semangat untuk memperjuangkan agama Islam dengan jalan dakwah dan dakwah, baik melalui menuntut ilmu ataupun dakwah hidup di jalan Allah SWT Fisabilillah. Dengan Rahman dan Rahim-Nya alhamdulillah saya dapat menyelesaikan laporan observasi ini.
Tidak lupa Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Rasulullah SAW,  yang telah memberikan arah penerangan berupa An Nur Islam sehingga kita bisa menuju jalan yang benar dan terang menderang yang penuh rahmat dan belas kasih Allah SWT dan Rasul-Nya.
Laporan praktikum ini diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh kelulusan pada mata kuliah Psikodiagnostik II. Tentunya laporan ini tidak akan dapat diselesaikan oleh saya tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak, antara lain :
1.      Bapak Prof. Dr. H. Abd. A’la, MA, selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
2.      Bapak Dr. Aswadi, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Dakwah.
3.      Ibu DR. dr. Hj. Nur Asiyah, M.Si, selaku Kepala Program Studi Psikologi IAIN Sunan Ampel Surabaya.
4.      Ibu Nailatin Fauziyah, S.Psi, M.Si, yang telah membimbing saya dalam mempelajari dan memahami mata kuliah Psikodiagnostik II, khususnya penyusunan laporan praktikum ini.
5.      Kedua orang tua yaitu Bapak dan Ibu yang tiada lelah selalu mendukung dan mendo’akan saya dalam berjuang menggapai cita-cita hidup.
6.      Semua sahabat dan teman-teman saya selalu memberikan bantuannya dalam penyelesaian laporan tugas akhir ini.
7.      Sahabat sekamar saya (khotib) yang selalu mensupport dan memberikan pinjaman labtopnya dengan ikhlas dalam menyelesaikan laporan ini.
8.      Dan yang terakhir semua pihak yang juga membantu dalam penyelesaian laporan tugas akhir ini.
Saya sadar sepenuhnya dalam penyusunan laporan praktikum ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, baik dari segi tulisan maupun kalimat maksud-maksud tertentu dalam laporan ini. Dan saya sadar bahwasanya Allah SWT menciptakan makhluk dimuka bumi ini dengan sempurna, lebih-lebih manusia yang diprioritaskan oleh Allah SWT dalam kesempurnaanya sebagai ummat Nabi Muhammad SAW, dengan tujuan diturunkan manusia kebumi ini untuk menjadi Khalifah pemimpin umat sesama lain, namun disisi lain yang namanya manusia tidak luput dari kesalahan dan lupa. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun semangat/motivasi sangat diperlukan demi kesempurnaan laporan praktikum ini. Harapan saya semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Amin Ya Robbal ‘Alamin.


                   Surabaya, 14 Juni 2012

DAFTAR ISI


A.    HALAMAN PENGESAHAN ................................................... i
B.     KATA PENGANTAR ............................................................... ii
C.    DAFTAR ISI .............................................................................. iv
D.    PENDAHULUAN ..................................................................... 1
E.     LANDASAN TEORI ................................................................ 2
A.    ALAT OBSERVASI
1.    Definisi operasional ................................................................. 8
2.    Indikator perilaku .................................................................... 11
3.    Lembar observasi ..................................................................... 12
B.     SUBYEK/KLIEN
1.    Data Klien ............................................................................... 14
2.    Riwayat Kasus ......................................................................... 14
3.    Riwayat perkembangan ........................................................... 15
F.     DIAGNOSA ................................................................................ 18
G.    PEMBAHASAN ........................................................................ 19
H.    REKOMENDASI/USULAN PENANGANAN ...................... 23
I.       DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 29
J.      LAMPIRAN ............................................................................... 30


PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Prestasi akademik dinilai sangat tinggi di masyarakat kita. Kita sering membandingkan prestasi belajar anak-anak kita yang masih sekolah dengan anak-anak dari budaya lain untuk membuat estimasi apakah kita berhasil atau gagal sebagai “pemimpin dunia” dan sebagai Negara adidaya di bidang ekonomi. Di tingkat pribadi, orang tua sering kali menginvestasikan banyak waktu dan energi emosionalnya untuk memastikan bahwa anak-anaknya sukses secara akademis. Jadi mereka bia menjadi sangat resah ketika seorang anak yang tidak menampakkan deficit intelektual yang jelas tidak dapat mencapai prestasi seperti yang diharapakan.
Dibagian ini kami mendeskripsikan tentang gangguan belajar (learning disorder) di bidang membaca, matematika, dan mengekpresikan sesuatu secara tertulis (written expresion) yang semuanya ditandai oleh performa  yang secara substansial leboh rendah dibanding performa yang diharapkan untuk orang dengan usia, IQ, dan pendidikan yang setara dengannya.
Maka dari itu, sangatlah penting bagi kami untuk melakukan observasi atau pengamatan mengenai beberapa gangguan belajar yang dialami oleh sebagian anak terutama anak usia sekolah. Judul pada observasi kami adalah “Observasi Gangguan Menulis (Disgrafia) Pada Siswa Kelas VII SMP”.

LANDASAN TEORI

1.      Pengertian Gangguan Belajar (learning disorder)
Berdasarkan definisinya, anak yang menderita gangguan belajar mempunyai kecerdasan yang normal atau di atas normal, kesulitan dalam setidaknya satu mata pelajaran atau, biasanya, beberapa mata pelajaran, dan tidak memiliki problem atau gangguan lain, seperti retardasi mental, yang menyebabkan kesulitan itu. Konsep umum gangguan belajar mancakup problem dalam kemampuan mendengar, berkonsentrasi, berbicara, berpikir, memori, membaca, menulis, dan mengeja, dan keterampilan social (Kamphaus, 2000).
Gangguan belajar sulit didiagnosis (Bos & Vaughn, 2002). Ketidak mampuan untuk belajar sering kali mencakup kondisi yang bisa jadi berupa adanya problem mendengar, berkonsentrasi, berbicara, membaca, menulis, menalar, berhitung, atau problem interaksi sosial. Jadi, anak yang memiliki gangguan belajar boleh jadi memiliki profil yang berbeda-beda (Henley, Ramsey & Algozzine, 1999). Gangguan belajar mungkin berhubungan dengan kondisi medis seperti fetal alcohol syndrome (American Psychiatric Association, 1994). Gangguan belajar juga terjadi bersama dengan gangguan lainnya, seperti gangguan komunikasi dan gangguan perilaku emosional (Poloway dkk, 1997).
Anak lelaki besar kemungkinannya mengalami gangguan belajar. perbedaan gender ini telah dijelaskan dari berbagai sudut pandang seperti kerawanan biologis yang lebih besar pada diri anak lelaki dan bias referral (anak lelaki lebih sering disebut-sebut guru karena perilakunya yang bandel dan mengganggu serta hiperaktif).[1]
Beberapa area akademik paling umum yang menjadi masalah bagi anak dengan ketidakmampuan belajar adalah pelajaran membaca, bahasa tulis, dan matematika (Hallahan & Kauffman, 2000; Lerner, 2000). Bidang paling umum yang menyulitkan anak dengan gangguan belajar adalah aktivitas membaca, terutama keterampilan fonologis, yang menyangkut cara memahami bagaimana suara dan huruf membentuk kata.
Pada awal sejarah diagnosis gangguan dalam belajar, kesulitan dalam pelajaran berhitung tidak banyak diberi perhatian. Tetapi kini diakui bahwa gangguan belajar juga bisa terjadi di bidang matematika. Murid dengan gngguan belajar di bidang matematika dapat jadi selalu membuat banyak kesalahan dalam berhitung atau menggunakan cara yang tidak efisien untuk memecahkan soal-soal matematika.
Kendati tingkat gangguan belajar ini bervariasi, dampak dari ketidakmampuan belajar ini terlihat jelas dan relatif menetap (Bender, 1998). Kebanyakan problem gangguan belajar ini bertahan lama bahkan seumur hidup.dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki masalah dalam belajar, anak yang mengalami gangguan belajar lebih mungkin berprestasi buruk, drop out, nilainya di sekolah buruk, dan memperoleh pekerjaan rendahan (Wagner & Blackorby, 1996). Anak yang mengalami gangguan belajar yang diajar di kelas regular tanoa dukungan ekstensif jarang yang mencapai level kompetensi yang setara dengan anak yang tidak punya masalah gangguan belajar. Akan tetapi, walaupun mereka memiliki problem ini, banyak anak yang menderita gangguan belajar tumbuh dan menjalani hidup normal dan melakukan pekerjaan yang produktif.[2]
Meningkatkan kemampuan anak yang memiliki masalah dalam belajar ini adalah tugas sulit dan umumnya membutuhkan intervensi intensif agar mereka mampu memberikan hasil yang baik. Belum ada model program yang terbukti efektif untuk semua anak yang memiliki masalah ketidakmampuan belajar (Terman, dkk, 1996).
Gangguan belajar cenderung menjadi gangguan kronis yang selanjutnya mempengaruhi perkembangan sampai masa dewasa. Anak-anak dengan gangguan belajar cenderung berprestasi buruk di sekolah. Mereka sering dinilai gagal oleh guru dan keluarga mereka. Tidak mengherankan bahwa sebagian besar dari mereka mengembangkan ekspektasi yang rendah dan bermasalah dengan self-esteem.[3]

2.      Penyebab Gangguan Belajar (learning disorder)
Meskipun penyebab gangguan belajar tidak sepenuhnya dimengerti. Mereka termasuk kelainan pada proses dasar yang berhubungan dalam memahami atau menggunakan ucapan atau penulisan bahasa atau numerik dan pertimbangan ruang. Diperkirakan 3 sampai 15% anak bersekolah di Amerika Serikat memerlukan pelayanan pendidikan khusus untuk menggantikan gangguan belajar. Anak laki-laki dengan gangguan belajar bisa melebihi anak gadis lima banding satu, meskipun anak perempuan seringkali tidak dikenali atau terdiagnosa mengalami gangguan belajar. Kebanyakan anak dengan masalah tingkah laku tampak kurang baik di sekolah dan diperiksa dengan psikologis pendidikan untuk gangguan belajar. Meskipun begitu, beberapa anak dengan jenis gangguan belajar tertentu menyembunyikan gangguan mereka dengan baik, menghindari diagnosa, dan oleh karena itu pengobatan, perlu waktu yang lama.
Faktor-faktor psikologis dan motivasional yang diperkuat oleh orang lain tampaknya berperan penting pada hasil akhir yang dicapai oleh penderita gangguan belajar. Faktor-faktor seperti sosial-ekonomi, ekspektansi kultural, interaktasi dan ekspentasi orang itu, dan pratek manajemen anak, bersama-sama dengan berbagai maca, defisit neurologis dan jenis dukungan yang diberikan di sekolah tanpaknya menentukan hasilnya.[4]

3.      Fitur-fitur Gangguan Belajar (learning disorder)
Adapun fitur-fitur pada gangguan belajar meliputi[5] :
·     Performa di bidang membaca, matematika, atau menulis yang secara substansial berada di bawah umur kronologis orang itu, yang diukur berdasarkan intelegensi dan pandidikannya.
·     Gangguan itu secara signifikan mengganggu prestasi akademis atau aktivitas sehari-hari yang membutuhkan keterampilan-keterampilan tersebut.
·     Bila ada defisit pengindraan, kesulitan belajarnya jauh melampaui defisit yang terkait dengannya.

4.      Tipe-tipe Gangguan Belajar (learning disorder)
Tipe gangguan belajar mencakup gangguan matematika (diskalkulia), gangguan menulis (disgrafia), dan gangguan membaca (disleksia).
1.      Gangguan Matematika (diskalkulia)
Gangguan matematika menggambarkan anak-anak dengan kekurangan kemampuan aritmatika. Merek dapat memiliki masalah memahami istilah-istilah matematika dasar atau operasi seperti penjumlahan atau pengurangan; memahami simbol-simbol matematika (+, -, =, dll); atau belajar table perkalian. Masalah ini mungkin tanpak sejak anak duduk di kelas 1 SD (6 tahun) tetapi umumnya tidak dikenali sampai anak duduk di kelas 2 atau 3 SD.
Menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Harmawan Consulting, Jakarta, diskalkulia dikenal juga dengan istilah “math difficulty” karena menyangkut gangguan pada kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat ditinjau secara kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting) dan mengkalkulasi (calculating). Anak yang bersangkutan akan menunjukkan kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Hal ini biasanya ditandai dengan munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas yang melibatkan angka ataupun simbol matematis.[6]
2.      Gangguan Menulis (disgrafia)
Gangguan menulis mengacu pada anak-anak dengan keterbatasan kemampuan menulis. Keterbatasan dapat muncul dalam bentuk kesalahan mengeja, tata bahasa, tanda baca, atau kesulitan dalam bentuk kalimat dan paragraph. Kesulitan menulis yang parah umumnya tanpak pada usia 7 tahun (kelas 2 SD), walaupun kasus-kasus lebih ringan mungkin tidak dikenali sampai usia 10 tahun (kelas 5 SD) atau setelahnya.[7]
3.      Gangguan Membaca (disleksia)
Gangguan membaca mengacu pada anak-anak yang memiliki perkembangan keterampilan yang buruk dalam mengenali kata-kata dan memahami bacaan. Disleksia diperkirakan mempengaruhi 4% dari anak-anak usia sekolah (APA, 2000). Anak-anak yang menderita disleksia membaca dengan lambat dan kesulitan, dan mereka mengubah, menghilangkan, atau mengganti kata-kata ketika membaca dengan keras. Mereka memiliki kesulitan menguraikan huruf-huruf dan kombinasinya serta mengalami kesulitan menerjemahkannya menjadi suara yang tepat (Miller-Medzon, 2000). Mereka mungkin salah juga mempersepsikan huuf-huruf seperti jungkir balik (contoh, bingung antara w dan m) atau melihatnya secara terbalik (b untuk d). Disleksia biasanya tanpak pada usia 7 tahun, bersamaan dengan kelas 2 SD, walaupun kadang-kadang sudah dikenali pada usia 6 tahun. Anak-anak dan remaja dengan disleksia cenderung lebih rentan terhadap depresi, memiliki self-worth yang rendah, merasa tidak kompeten secara akademik, dan menunjukkan tanda-tanda ADHD (Boetsetch, Green, & Pennington, 1996).

ALAT OBSERVASI

1.      Definisi operasional
Disgrafia adalah kesulitan khusus dimana anak-anak tidak bisa menuliskan atau mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk tulisan, karena mereka tidak bisa menyuruh atau menyusun kata dengan baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan) untuk menulis. Pada anak-anak, umumnya kesulitan ini terjadi pada saat anak mulai belajar menulis. Kesulitan ini tidak tergantung kemampuan lainnya. Seseorang bisa sangat fasih dalam berbicara dan keterampilan motorik lainnya, tapi mempunyai kesulitan menulis. Kesulitan dalam menulis biasanya menjadi problem utama dalam rangkaian gangguan belajar, terutama pada anak yang berada di tingkat SD.[8]
Kesulitan dalam menulis seringkali juga disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru. Akibatnya, anak yang bersangkutan frustrasi karena pada dasarnya ia ingin sekali mengekspresikan dan mentransfer pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke dalam bentuk tulisan. Hanya saja ia memiliki hambatan. Sebagai langkah awal dalam menghadapinya, orang tua harus paham bahwa disgrafia bukan disebabkan tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar.
Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian orang tua dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan proses visual motoriknya. Dysgraphia / Disgrafia adalah learning disorder dengan ciri perifernya berupa ketidakmampuan menulis, terlepas dari kemampuan anak dalam membaca maupun tingkat intelegensianya. Disgrafia diidentifikasi sebagai keterampilan menulis yang secara terus-menerus berada di bawah ekspektasi jika dibandingkan usia anak dan tingkat intelegensianya.
Gangguan menulis mengacu pada anak-anak dengan keterbatasan kemampuan menulis. Keterbatasan dapat muncul dalam bentuk kesalahan mengeja, tata bahasa, tanda baca, atau kesulitan dalam bentuk kalimat dan paragraph. Kesulitan menulis yang parah umumnya tanpak pada usia 7 tahun (kelas 2 SD), walaupun kasus-kasus lebih ringan mungkin tidak dikenali sampai usia 10 tahun (kelas 5 SD) atau setelahnya.
Kelainan neurologis ini menghambat kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara fisik, seperti tidak dapat memegang pensil dengan mantap ataupun tulisan tangannya buruk. Anak dengan gangguan disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya secara otomatis saat menulis huruf dan angka.[9]
Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan ini. Di antaranya adalah:
a.     Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
b.    Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
c.     Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
d.    Anak tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.
e.     Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
f.     Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
g.    Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
h.    Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
2.      Penyebab Disgrafia
Secara spesifik penyebab disgrafia tidak diketahui secara pasti, namun apabila disgrafia terjadi secara tiba-tiba pada anak maupun orang yang telah dewasa maka diduga disgrafia disebabkan oleh trauma kepala entah karena kecelakaan, penyakit, dan seterusnya. Disamping itu para ahli juga menemukan bahwa anak dengan gejala disgrafia terkadang mempunyai anggota keluarga yang memiliki gejala serupa. Demikian ada kemungkinan faktor herediter ikut berperan dalam disgrafia.
Seperti halnya disleksia, disgrafia juga disebabkan faktor neurologis, yakni adanya gangguan pada otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis. Anak mengalami kesuitan dalam harmonisasi secara otomatis antara kemampuan mengingat dan menguasai gerakan otot menulis huruf dan angka. Kesulitan ini tak terkait dengan masalah kemampuan intelektual, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar.


3.      Indikator perilaku
Tingkah laku yang diharapkan muncul dari subjek dalam observasi ini yang akan dijadikan sebagai representasi perilaku GAD adalah sebagai berikut :
1.    Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
2.    Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
3.    Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
4.    Anak tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.
5.    Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
6.    Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
7.    Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
8.    Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.

4.      Lembar observasi

Indikator
Penilaian
Catatan

1
2
3
4

Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya







Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur







Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional







Anak tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan








Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap







Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis








Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional







Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada









Berikan tanda contreng  (√  ) pada salah satu alternatif jawaban
Keterangan : SS = sangat sesuai ; S = sesuai ; KS = kurang sesuai ; TS = tidak sesuai


SUBYEK/KLIEN

1.      Data Klien
1.      Nama klien                  : Safira
2.      Tanggal lahir                : 05 Juni 1995
3.      Jenis kelamin               : Perempuan
4.      Alamat                         : Jl. Pantai Lombang, Batang-Batang,
  Sumenep
5.      Umur                           : 17 tahun
6.      Sekolah                        : Mts. Miftahul Ulum
7.      Kelas                           : VII (tujuh)
8.      Nama bapak                : Muhammad Abduh
9.      Nama ibu                     : Sulistiani
10.  Pekerjaan orang tua     : Petani

2.      Riwayat Kasus
Subjek yang saya observasi ini pertama kali gangguan menulisnya tanpak yaitu pada saat duduk di kelas 1 SD (tahun kedua, karena tidak naik kelas), dengan umur masih 7 tahun. Ciri gangguan  menulis (disgrafia) yang tanpak pada subjek saat itu adalah masih sulitnya memegang pensil dengan tepat, padahal sudah dua tahun belajar di sekolah. Hingga sekarang meskipun subjek sudah duduk di bangku SMP kelas dua masih tetap tidak bisa memegang pensil dengan tepat sesuai dengan kenormalan yang ada. Cara dia memegang pensil atau bolpoin ketika mau menulis terlalu ke ujung atau ke bawah pensil. Dan semua lima jari tangannya yang memegang pensil tertumpuk pada pensilnya.
Selain itu ciri lain yang tanpak pada saat subjek masih sekolah SD yaitu selalu memperhatikan tangannya yang digunakan untuk menulis. Setiap menulis dia selalu menundukkan kepalanya dengan memperhatikan tangannya yang sedang menulis. Dan sampai sekarang ciri itu masih tanpak pada subjek.
Ciri atau gejala lain selain di atas yang tanpak pada subjek kami yaitu pada saat kelas 4 dan 5 SD. Gejala itu antara lain, bentuk huruf hasil tulisan tidak konsisten, penggunaan huruf besar dan kecil masih tercampur, ukuran bentuk tuisan tidak proporsional, cara menulis tidak konsisten, sambil berbicara saat menulis, dan masih tetap mengalami kesulitan meskipun saat menyalin contoh tulisan yang ada. Meskipun semua itu sudah tanpak pada saat masih kelas 1 SD, namun itu belum bisa dsimpulkan bahwa anak tersebut tidak mampu. Sebab pada usia kelas 1-3 SD secara normal kebanyakan anak juga masih belum mampu terhindar dari gejala-gejala di atas. Jika sudah masuk usia kelas 4-5 SD secara normal mayoritas anak sudah mampu melewati atau menyelesaikan masalah seperti tadi. Namun, yang terjadi pada klien kami sampai sekarang pun masih belum bisa melewati atau menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
3.      Riwayat Perkembangan
Safira lahir pada tanggal 05 Juni 1995. Dia lahir dengan sempurna tanpa mengalami hambatan apapun. Dia hidup dan berkembang secara normal tanpa masalah hingga masuk usia sekolah. Secara kognitif, psikomotor, dan afektifnya berkembang dan berfungsi secara normal.
Dia mulai masuk sekolah SD di usia 6 tahun. Dan selama dis ekolah SD dia jalani selama 10 tahun, karena tidak naik kelas selama empat kali. Safira saat SD sering tidak naik kelas yaitu saat kelas 1 tidak naik kelas dua kali dan dua kali juga saat kelas 2 SD. Sehingga dia lulus SD dengan waktu yang sangat lama yaitu 10 tahun. Alasan dia sering tidak naik karena lambatnya perkembangan belajarnya. Dia tidak bisa melewati masa belajarnya dengan normal seperti halnya anak normal lainnya. Selama kelas 1 dan 2 SD kemampuan untuk memahami pelajaran masih minim, itu bisa dilihat dari kemampuan membaca, menulis, dan menghitungnya belum lancar. Dan juga bisa dilihat dari hasil ulangan harian serta raportnya yang nilainya anjlok.
Namun, setelah kelas 3 SD dia sudah mulai bisa mengalami perkembangan walaupun hanya sedikit demi sedikit. Tapi itu masih belum bisa berkembang secara normal seperti halnya anak yang lain, masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam bidang belajar, baik itu kognitif, psikomotor, dan afektifnya. Sampai sekarang pun kemampuan belajarnya masih minim, sebab hasil ulangan di sekolahnya selalu mendapatkan hasil yang jelek.
Meskipun dia sekarang sudah duduk di bangku SMP kelas VII, kognitif, psikomotor, dan afektifnya masih belum berkembang secara normal. Dia masih mengalami banyak kekurangan dan kelemahan dalam bidang belajar. Misalnya, kemampuan membaca, menghitung, dan cara berkomunikasinya masih mengalami hambatan atau tidak lancar.
Semenjak SD sampai sekarang SMP dia selalu merasa males dan sering tidak mau untuk masuk sekolah. Menurut orang tuanya, dia sering tidak masuk sekolah karena takut pada beberapa mata pelaran. Dan takutnya disini karena merasa tidak mampu untuk menerima dan mempelajari mata pelajaran tersebut. Diantara salah satu mata pelajaran yang dia takuti adalah matematika dan bahasa indonesia. Jika sudah waktunya mata pelajaran itu dia selalu berkeinginan untuk memilih tidak masuk sekolah.
Selain hambatan atau masalah-masalah di atas, masih ada lagi satu masalah yang sangat tidak baik yang dialami Safira, yaitu mempunyai penyakit kejang-kejang yang kronis. Penyakit ini timbul pada dia semenjak masih duduk di bangku SD kelas 3 hingga sekarang. Keluarganya tidak mengetahui apa penyebab awal timbulnya penyakit kejang-kejang ini. Tiba-tiba saat itu waktu dalam keadaan tidur langsung kejang-kejang. Penyakit ini biasanya datang atau kambuh setiap antara 2-3 bulan sekali. Dan kambuhnya jika dalam keadaan tidur.
Sehari-hari dia lebih sering di rumahnya dari pada main bersama teman-teman sebayanya. Dan dia juga termasuk anak yang pendiam.


DIAGNOSA

Berdasarkan hasil observasi yang telah kami lakukan pada klien, kami dapat mendiagnosa bahwa klien kami benar-benar telah mengalami gangguan belajar khusunya dalam gangguan menulis (disgrafia). Hal ini didasarkan pada beberapa indikator-indikator yang ada, dimana ada 4 indikator yang sangat sesuai dan 2 indikator yang sesuai dengan apa yang telah dialami oleh klien. Diantara indikator tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
2.    Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional dan tidak konsisten.
3.    Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
4.    Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
5.    Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
Menurut beberapa tokoh psikologi, bahwa apabila seseorang sudah mengalami gejala-gejala suatu ketidaknormalan paling sediktinya tiga gejala maka orang tersebut sudah bisa dikatakan telah mengalami ketidaknormalan.[10]

PEMBAHASAN

Disgrafia adalah kesulitan khusus dimana anak-anak tidak bisa menuliskan atau mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk tulisan,karena mereka tidak bisa menyuruh atau menyusun kata dengan baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan) untuk menulis. Pada anak-anak, umumnya kesulitan ini terjadi pada saat anak mulai belajar menulis. Kesulitan ini tidak tergantung kemampuan lainnya. Seseorang bisa sangat fasih dalam berbicara dan keterampilan motorik lainnya, tapi mempunyai kesulitan menulis. Kesulitan dalam menulis biasanya menjadi problem utama dalam rangkaian gangguan belajar, terutama pada anak yang berada di tingkat SD.
Dari hasil observasi dan pendiagnosaan yang telah kami lakukan pada klien, dapat diperoleh pembahasan sebagai berikut :
1.    Gangguan belajar pada  klien
Dari observasi yang telah kami lakukan selama kurang lebih satu minggu pada klien, telah ditemukan beberapa ciri-ciri disgrafia yang tidak mampu dijalankan oleh klien kami. Dimana percobaan-percobaan atau ilustrasi yang diberikan oleh kami tidak bisa diselesaikan dengan baik. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa klien kami positif mengalami gangguan belajar disgrafia. Ini berdasarkan pada ciri-ciri yang lebih dari tiga yang ada pada klien. Sebab kata para tokoh bahwa apabila klien sudah mengalami gejala paling sedikitnya tiga, maka klien itu sudah bisa dikatakan positif.
Meskipun ada yang mengatakan bahwa dengan gangguan belajar disgrfia bisa jadi klien juga akan menderita gangguan belajar lainnya seperti gangguan dalam membaca dan menghitung, namun pada klien kami selain gangguan belajar disgrafia dalam hal membaca dan menghitung masih normal.
2.    Penyebab gangguan klien
Sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti apa penyebab sebenernya dari gangguan belajar disgrafia. Hanya saja biasanya yang menjadi penyebab bisa dari faktor keluarga. Maksudnya jika ada salah satu keluarga yang mengalami gangguan belajar maka tidak ada kemunkinan anggota atau keturunan yang lainnya akan mengalami hal yang sama juga.
Pada klien kami ini, ternyata secara spesifik tidak ditemukan apa penyebab gangguan belajar disgrafia yang dialaminya, hanya saja kalau ditelusuri ternyata ada salah satu dari keluarga klien (bapaknya) yang masih buta huruf karena tidak pernah mengenyam yang namanya pendidikan di sekolah. Mungkin ini bisa menjadi salah satu penyebab gangguan belajar yang dialami oleh klien. Selain itu kami masih belum menemukan penyebab lainnya.
3.    Waktu munculnya gejala-gejala gangguan
Dari masa kecil hingga hampir masuk sekolah anak ini masih belum ditemukan tanda-tanda atau ciri yang timbul. Baru ketika sekolahnya sudah mencapai dua tahun yaitu saat berumur 7 tahun (masih kelas 1 SD) sudah mulai muncul gejala disgrafia. Dimana saat sudah dua tahun duduk di kelas 1 dia masih belum bisa memegang pensil dengan baik ketika menulis. Cara dia memegang pensil tidak seperti biasanya anak normal, jari-jari pemegang pensil terlalu ke ujung pensil. Lima jari tangannya tertumpuk jadi satu pada pensil yang dipegang dan hampir nempel ke kertas, sehingga kelihatan kaku. Dan hasil tulisannya kurang bagus serta tidak tertata rapi.
Mengenai berbicara sendiri dan memperhatikan tangan yang sedang menulis ini dialami juga sejak duduk di bangku SD kelas 1. Setiap klien disuruh menulis pandangan matannya memperhatikan gerakan tangan yang sedang menulis. Dan untuk masalah berbicara sendiri itu tidak terjadi setiap menulis, hanya kadang-kadang saja. Berbicaranya disini yaitu melafalkan atau membaca dengan suara kecil  kata-kata yang akan atau sedang ditulis.
Untuk gejala yang lainnya baru bisa dikatakan bermasalah atau tidak mampu diketika sudah memasuki bangku kelas 3 atau 4 SD, sebab di usia kelas 1-3 SD anak masih belum bisa disimpulkan bahwa itu belum mampu atau bermasalah dengan gejala itu. Gejala itu antara lain, bentuk huruf hasil tulisan tidak konsisten, penggunaan huruf besar dan kecil masih tercampur, ukuran bentuk tuisan tidak proporsional, cara menulis tidak konsisten, sambil berbicara saat menulis, dan masih tetap mengalami kesulitan meskipun saat menyalin contoh tulisan yang ada. Secara normal mayoritas anak 1-3 SD masih belum bisa melewati hal-hal tersebut.
4.    Gejala-gejala pada klien
a.     Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur
Sampai sekarang klien duduk di bangku SMP kelas VII masih belum bisa menggunakan ejaan penulisan huruf antara yang besar dengan yang kecil secara benar. Dilihat dari hasil tulisannya masih banyak huruf besar yang ada di tengah-tengah kata seperti pada tulisan kata “kaliMat”. Dan ada juga dipermulaan kata atau kalimat yang seharusnya memakai huruf besar klien kami masih memakai huruf kecil seperti pada tulisan kata “saya”.
b.    Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional dan tidak konsisten
Jika dilihat dari hasil tulisan yang dia tulis, ukuran dan bentuk hurufnya tidak sama antara kalimat yang satu dengan kalimat selanjutnya. Terkadang tulisannya kecil-kecil dan terkadang juga besar. Selain itu, tulisannya ada yang tegak dan ada juga yang agak miring.
c.     Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan kertas
Meskipun sudah usia SMP klien kami masih belum bisa memegang pensil atau bolpoin dengan mantab seperti anak yang lainnya. Dia memegang pensil terlalu dekat ke ujung pensil bahkan jarinya hampir nempel ke kertas. Namun, hal seperti itu sudah menjadi kebiasaan dan menurut klien paling nyaman dengan cara seperti itu. Dan dia tidak mau kalau diajarin dengan cara yang lain.
d.    Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis
Disetiap klien kami disuruh untuk menulis pandangan matanya pasti memperhatikan gerakan tangan yang dipakai untuk menulis. Bahkan jarak antara tangan dengan mata berdekatan (posisi menulis menunduk). Untuk masalah berbicara sendiri itu tidak terjadi setiap menulis, hanya kadang-kadang dilakukan. Berbicaranya disini yaitu melafalkan atau membaca dengan suara kecil  kata-kata yang akan atau sedang ditulisnya.
e.     Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada
Ketika diberi percobaan untuk menyalin sebuah paragraf, hasilnya masih ada beberapa kata yang masih kekurangan hurufnya. Dan Jika disuruh menulis dengan cara didekte klien kami masih bisa dikatakan lemah, sebab jika didekte harus dengan pelan-pelan dan diperjelas kalimatnya. Dan dia tidak suka jika menulis dengan cara didekte.


REKOMENDASI/USULAN PENANGANAN

Model medis saat ini menjadi terbatas karena kurangnya bukti bahwa defesiensi yang mendasari gangguan belajar dapat dikoreksi atau perbaikan pada aspek tersebut akan meningkatkan keterampilan akademik (Hinshaw, 1992). Kurangnya bukti juga terdapat pada pendekatan psikoedukasi (Brady, 1986). Walaupun pendekatan neuropsikologis belum diuji secara lengkap, intervensi yang ditujukan untukm mengubah strategi-strategi belajar anak dengan tujuan untuk menghindari defisit neuropsikologis sampai sejauh ini gagal memperlihatkan peningkatan berarti pada anak-anak dengan gangguan belajar yang parah. Sampai saat ini intervensi yang paling tanpak menjanjikan adalah yang memberikan intruksi-intruksi langsung pada tugas-tugas akademik dimana anak mengalami defisiensi, misalnya keterampilan bahasa lisan dan tulisan. Model behavioral juga menunjukkan hasil-hasil yang menjanjikan dalam meningkatkan prestasi anak yang memiliki defisiensi dalam keterampilan membaca dan aritmatika. Masih belum jelas apakah peningkatan akibat pelatihan behavioral dapat digeneralisasikan pada prestasi di kelas. Pendekatan linguistik telah memperoleh sejumlah dukungan, tetapi belum cukup untuk dianjurkan secara luas dalam menangani anak-anak yang memiliki defisiensi membaca dan mengeja. Model kognitif juga telah menerima sejumlah dukungan, tetapi banyak anak dengan gangguan belajar belum mengembangkan pengetahuan dasar yang cukup mengenai area-area permasalahan mereka dan menggunakannya untuk memikirkan masalah-masalah tersebut lebih dalam.
Anak-anak dengan gangguan belajar banyak yang ditempatkan dalam program-program edukasi atau kelas-kelas khusus. Namun program untuk anak-anak dengan kesulitan belajar sangat bervariasi dalam kualitas dan kita masih kekurangan bukti yang pasti mengenai efektivitas jangka panjangnya.[11]
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk membantu anak dengan gangguan menulis (disgrafia). Di antaranya:[12]
1.    Pahami keadaan anak
Sebaiknya pihak orang tua, guru, atau pendamping memahami kesulitan dan keterbatasan yang dimiliki anak disgrafia. Berusahalah untuk tidak membandingkan anak seperti itu dengan anak-anak lainnya. Sikap itu hanya akan membuat kedua belah pihak, baik orang tua/guru maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika memungkinkan, berikan tugas-tugas menulis yang singkat saja. Atau bisa juga orang tua meminta kebijakan dari pihak sekolah untuk memberikan tes kepada anak dengan gangguan ini secara lisan, bukan tulisan.
2.    Menyajikan tulisan cetak
Berikan kesempatan dan kemungkinan kepada anak disgrafia untuk belajar menuangkan ide dan konsepnya dengan menggunakan komputer atau mesin tik. Ajari dia untuk menggunakan alat-alat agar dapat mengatasi hambatannya. Dengan menggunakan komputer, anak bisa memanfaatkan sarana korektor ejaan agar ia mengetahui kesalahannya.
3.    Membangun rasa percaya diri anak
Berikan pujian wajar pada setiap usaha yang dilakukan anak. Jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan karena hal itu akan membuatnya merasa rendah diri dan frustrasi. Kesabaran orang tua dan guru akan membuat anak tenang dan sabar terhadap dirinya dan terhadap usaha yang sedang dilakukannya.
4.    Latih anak untuk terus menulis
Libatkan anak secara bertahap, pilih strategi yang sesuai dengan tingkat kesulitannya untuk mengerjakan tugas menulis. Berikan tugas yang menarik dan memang diminatinya, seperti menulis surat untuk teman, menulis pada selembar kartu pos, menulis pesan untuk orang tua, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kemampuan menulis anak disgrafia dan membantunya menuangkan konsep abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk tulisan konkret.
Adapun penanganan secara terstruktur dapat dilakukan melalui beberapa hal berikut:[13]
1.    Faktor kesiapan menulis
Menulis membutuhkan kontrol maskular, koordinasi mata-tangan, dan diskriminasi visual. Aktivitas yang mendukung kontrol muskular antara lain: menggunting, mewarnai gambar, finger painting, dan tracing. Kegiatan koordinasi mata-tangan antara lain: membuat lingkaran dan menyalin bentuk geomteri. Sementara itu, pengembangan diskriminasi visual dapat dilakukan dengan kegiatan membedakan bentuk, ukuran, dan detailnya, sehingga anak menyadari bagaimana cara menulis suatu huruf.
2.    Aktivitas lain yang mendukung
o  Kegiatan yang memberikan kerja aktif dari pergerakan otot bahu, lengan atas serta bawah, dan jari.
o  Menelusuri bentuk geometri dan barisan titik.
o  Menyambungkan titik.
o  Membuat garis horizontal dari kiri ke kanan.
o  Membuat garis vertikal dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.
o  Membuat bentuk-bentuk lingkaran dan kurva.
o  Membuat garis miring secara vertikal.
o  Menyalin bentuk-bentuk sederhana.
o  Membedakan bentuk huruf yang mirip bentuknya dan huruf yang hampir sama bunyinya.
3.    Menulis huruf lepas/cetak
o  Perlihatkan sebuah huruf yang akan ditulis.
o  Ucapkan dengan jelas nama huruf dan arah garis untuk membuat huruf itu.
o  Anak menelusuri huruf itu dengan jarinya sambil mengucapkan dengan jelas arah garis untuk membuat huruf itu.
o  Anak menelusuri garis tersebut dengan pensilnya.
o  Anak menyalin contoh huruf itu di kertas/bukunya.
Jika cara ini sudah dikuasai, mintalah anak menyambungkan titik yang dibentuk menjadi huruf tertentu, sampai akhirnya anak mampu membuat huruf dengan baik tanpa dibantu. Tahap selanjutnya adalah menulis kata dan kalimat.
4.    Menulis huruf transisi
Huruf transisi adalah huruf yang digunakan untuk melatih siswa sebelum menguasai huruf sambung. Adapun langkah-langkah pengajarannya sebagai berikut:
o  Kata atau huruf ditulis dalam bentuk lepas atau cetak.
o  Huruf yang satu dan yang lain disambungkan dengan titik-titik dengan meggunakan warna yang berbeda.
o  Anak menelusuri huruf dan sambungannya sehingga menjadi bentuk huruf sambung.
5.    Menulis huruf sambung
o  Mengajarkan huruf sambung dapat menggunakan langkah-langkah huruf lepas dan transisi.
o  Kami sertakan tabel cara melatih anak disgrafia agar dapat menulis dengan baik dan benar seperti di bawah ini.






Faktor
Masalah
Penyebabnya
Remedial
Bentuk
Huruf terlalu miring
Posisi kertas yang miring
Betulkan posisi kertas sehingga tegak lurus dengan badan
Ukuran
Terlalu besar dan terlalu tebal
·         Kurang memahami garis tulisan
·         Gerakan tangan yang kaku
·         Ajarkan kembali tentang konsep ukuran dan perjelas garis tulisan
·         Latih gerakan tangan, salah satu caranya dengan latihan membuat lingkaran atau bentuk lengkung
Spasi
·         Huruf dalam satu kata seperti menumpuk
·         Spasi antar-huruf terlalu lebar
·         Kurang memahami konsep spasi
·         Kurang memahami bentuk dan ukuran
·         Ajarkan kembali konsep spasi antar-kata
·         Kaji kembali konsep bentuk ukuran dan huruf
Kualitas garis
Terlalu tebal atau menekan terlalu tipis
Masalah pada tekanan tulisan
Perbaikilah cara-cara   memegang alat tulis, perbaiki juga gerakan tangan, serta beikan latihan menulis di atas kertas tipis dan kertas kasar
Kecepatan
Lambat ketika dalam menulis yaitu ketika menyalin atau saat dikte
Tingkat kemampuan menulis tidak sebanding dengan kecepatannya
Latih menarik garis lurus dengan cepat serta latihan membuat bentuk melingkar, tegak dan melengkung di kertas berpetak


DAFTAR PUSTAKA

ü  Azwar, Drs. Saifuddin. 1999, Penyusunan Skala Psikologi, PT. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
ü  Durand, V. Mark. 2007, Psikologi Abnormal,  Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
ü  Nevid, Jeffrey S. 2003, Psikologi Abnormal, Erlangga, Jakarta.
ü  Supratiknya, Dr. A. 2000, Mengenal Perilaku Abnormal, Kanisius, Yogyakarta.
ü  Wiramihardja, Psi. Prof. Dr. Sutardjo A. 2005, Pengantar Psikologi Abnormal, Refika Aditama, Bandung.
ü  http://www.tabloid-nakita.com/Panduan/panduan05233-02.html diakses 14 Juni 2012 jam 14.00.
ü http://www.masbow.com/2009/11/gangguan-belajar.html diakses 14 Juni 2012 jam 14.00.

LAMPIRAN
ü  Lampiran I
LEMBAR OBSERVASI
Perilaku Disgrafia

Indikator
Penilaian
Catatan

SS
S
KS
TS

Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya
 



Hasi tulisannya ada yang tegak dan ada juga yang miring


Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur
 



Dalam satu kata penggunaan huruf besar dan kecil masih bercampuran, seperti “kaliMat”


Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional
 



 Dalam beberapa garis hasil tulisannya ada yang besar dan kecil


Anak tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan



 
-



Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap

 


 Ketika megang pensil jari tangan sangat dekat dengan ujung pensil


Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis
 



 Posisi saat menulis terlalu nunduk dan matanya memperhatikan tangan yang sedang menulis. Terkadang kata yang ditulis sambil disuarakan



Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional



 
-


Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada

 


 Saat disuruh menyalin sebuah paragraf, hasilnya masih ada beberapa kata yang kurang hurufnya



Berikan tanda contreng  (√  ) pada salah satu alternatif jawaban
Keterangan : SS = sangat sesuai ; S = sesuai ; KS = kurang sesuai ; TS = tidak sesuai


[1] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan (Jakarta: 2008), hal. 230
[2] Ibid, 231
[3] Jeffrey S. Nevid, Psikologi Abnormal (Jakarta : 2003), hal. 156
[4] V. Mark Durand, Psikologi Abnormal (Yogyakarta : 2007), hal. 285
[5] Ibid 284
[7] Jeffrey S. Nevid, Psikologi Abnormal (Jakarta : 2003), hal. 156
[8] http://fanisliend.blogspot.com/2012/04/makalah-gangguan-belajar-disgrafia.html
[10] Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal (Yogyakarta : 2000), hal.
[11] Jeffrey S. Nevid, Psikologi Abnormal (Jakarta : 2003), hal. 159
[13] http://fanisliend.blogspot.com/2012/04/makalah-gangguan-belajar-disgrafia.html

1 komentar: