Diajukan
Sebagai Salah Satu Persyaratan
Untuk
Memperoleh Kelulusan Pada Mata Kuliah Psikodiagnostik II
Oleh:
Moh Antoso (B07210076)
Dosen Pembimbing:
Nailatin Fauziyah, S.Psi, M.Si
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan ini telah dipertahankan di depan Tim Penguji
Surabaya, Juli 2012
Mengesahkan
Fakultas Dakwah
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Dekan,
Dr. Aswadi, M.Ag
NIP:…………………..
Kaprodi. Psikologi,
DR. dr.
Hj. Nur Asiyah, M.Si
NIP:…………………
Penguji I,
……………………
NIP:…………………
Penguji II,
………………………….
NIP:………………………
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Allah maha pengasih lagi maha
penyayang, Segala puja dan puji syukur kami ucapkan kehadirat Ilahi Robbi,
dengan karunia, taufiq, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat menikmati
hidup dimuka bumi ini, yang penuh rahmat dan kasih sayang-Nya, hingga kami
tumbuh semangat untuk memperjuangkan agama Islam dengan jalan dakwah dan
dakwah, baik melalui menuntut ilmu ataupun dakwah hidup di jalan Allah SWT
Fisabilillah. Dengan Rahman dan Rahim-Nya alhamdulillah saya dapat
menyelesaikan laporan
observasi ini.
Tidak lupa Sholawat serta salam semoga tetap tercurah
limpahkan kepada baginda Rasulullah SAW,
yang telah memberikan arah penerangan berupa An Nur Islam sehingga kita
bisa menuju jalan yang benar dan terang menderang yang penuh rahmat dan belas
kasih Allah SWT dan Rasul-Nya.
Laporan praktikum ini diajukan sebagai salah satu
persyaratan untuk memperoleh
kelulusan pada mata kuliah Psikodiagnostik II. Tentunya laporan ini tidak akan
dapat diselesaikan oleh saya tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak,
antara lain :
1.
Bapak Prof. Dr. H.
Abd. A’la, MA, selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
2.
Bapak Dr. Aswadi, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Dakwah.
3.
Ibu DR. dr. Hj. Nur Asiyah, M.Si, selaku Kepala Program Studi Psikologi IAIN
Sunan Ampel Surabaya.
4.
Ibu Nailatin
Fauziyah, S.Psi, M.Si, yang telah membimbing saya dalam mempelajari dan
memahami mata kuliah Psikodiagnostik II, khususnya penyusunan laporan praktikum
ini.
5.
Kedua orang tua
yaitu Bapak dan Ibu yang tiada lelah selalu mendukung dan mendo’akan saya dalam
berjuang menggapai cita-cita hidup.
6.
Semua sahabat dan
teman-teman saya selalu memberikan bantuannya dalam penyelesaian laporan tugas
akhir ini.
7.
Sahabat sekamar
saya (khotib) yang selalu mensupport dan memberikan pinjaman labtopnya dengan
ikhlas dalam menyelesaikan laporan ini.
8.
Dan yang terakhir
semua pihak yang juga membantu dalam penyelesaian laporan tugas akhir ini.
Saya sadar sepenuhnya dalam penyusunan laporan praktikum
ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, baik dari segi tulisan
maupun kalimat maksud-maksud tertentu dalam laporan ini. Dan saya sadar
bahwasanya Allah SWT menciptakan makhluk dimuka bumi ini dengan sempurna,
lebih-lebih manusia yang diprioritaskan oleh Allah SWT dalam kesempurnaanya
sebagai ummat Nabi Muhammad SAW, dengan tujuan diturunkan manusia kebumi ini
untuk menjadi Khalifah pemimpin umat sesama lain, namun disisi lain yang
namanya manusia tidak luput dari kesalahan dan lupa. Oleh karena itu kritik dan
saran yang bersifat membangun semangat/motivasi sangat diperlukan demi
kesempurnaan laporan praktikum ini. Harapan saya semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Surabaya, 14 Juni 2012
DAFTAR ISI
A. HALAMAN
PENGESAHAN ................................................... i
B. KATA PENGANTAR ............................................................... ii
C. DAFTAR ISI .............................................................................. iv
D. PENDAHULUAN ..................................................................... 1
E. LANDASAN TEORI ................................................................ 2
A. ALAT
OBSERVASI
1.
Definisi
operasional
................................................................. 8
2.
Indikator
perilaku .................................................................... 11
3.
Lembar
observasi
..................................................................... 12
B. SUBYEK/KLIEN
1.
Data Klien ............................................................................... 14
2.
Riwayat
Kasus ......................................................................... 14
3.
Riwayat
perkembangan
........................................................... 15
F. DIAGNOSA ................................................................................ 18
G. PEMBAHASAN ........................................................................ 19
H. REKOMENDASI/USULAN
PENANGANAN ...................... 23
I. DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 29
J. LAMPIRAN ............................................................................... 30
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Prestasi
akademik dinilai sangat tinggi di masyarakat kita. Kita sering membandingkan
prestasi belajar anak-anak kita yang masih sekolah dengan anak-anak dari budaya
lain untuk membuat estimasi apakah kita berhasil atau gagal sebagai “pemimpin
dunia” dan sebagai Negara adidaya di bidang ekonomi. Di tingkat pribadi, orang
tua sering kali menginvestasikan banyak waktu dan energi emosionalnya untuk
memastikan bahwa anak-anaknya sukses secara akademis. Jadi mereka bia menjadi
sangat resah ketika seorang anak yang tidak menampakkan deficit intelektual yang
jelas tidak dapat mencapai prestasi seperti yang diharapakan.
Dibagian ini
kami mendeskripsikan tentang gangguan belajar (learning disorder) di bidang membaca, matematika, dan mengekpresikan
sesuatu secara tertulis (written
expresion) yang semuanya ditandai oleh performa yang secara substansial leboh rendah
dibanding performa yang diharapkan untuk orang dengan usia, IQ, dan pendidikan
yang setara dengannya.
Maka dari itu,
sangatlah penting bagi kami untuk melakukan observasi atau pengamatan mengenai
beberapa gangguan belajar yang dialami oleh sebagian anak terutama anak usia
sekolah. Judul pada observasi kami adalah “Observasi
Gangguan Menulis (Disgrafia) Pada
Siswa Kelas VII SMP”.
LANDASAN
TEORI
1.
Pengertian Gangguan Belajar (learning disorder)
Berdasarkan definisinya, anak yang menderita gangguan belajar mempunyai
kecerdasan yang normal atau di atas normal, kesulitan dalam setidaknya satu
mata pelajaran atau, biasanya, beberapa mata pelajaran, dan tidak memiliki
problem atau gangguan lain, seperti retardasi mental, yang menyebabkan
kesulitan itu. Konsep umum gangguan belajar mancakup problem dalam kemampuan
mendengar, berkonsentrasi, berbicara, berpikir, memori, membaca, menulis, dan mengeja,
dan keterampilan social (Kamphaus, 2000).
Gangguan belajar sulit didiagnosis (Bos & Vaughn, 2002). Ketidak
mampuan untuk belajar sering kali mencakup kondisi yang bisa jadi berupa adanya
problem mendengar, berkonsentrasi, berbicara, membaca, menulis, menalar,
berhitung, atau problem interaksi sosial. Jadi, anak yang memiliki gangguan
belajar boleh jadi memiliki profil yang berbeda-beda (Henley, Ramsey &
Algozzine, 1999). Gangguan belajar mungkin berhubungan dengan kondisi medis
seperti fetal alcohol syndrome (American
Psychiatric Association, 1994). Gangguan belajar juga terjadi bersama dengan
gangguan lainnya, seperti gangguan komunikasi dan gangguan perilaku emosional
(Poloway dkk, 1997).
Anak lelaki besar kemungkinannya mengalami gangguan belajar. perbedaan
gender ini telah dijelaskan dari berbagai sudut pandang seperti kerawanan
biologis yang lebih besar pada diri anak lelaki dan bias referral (anak lelaki lebih sering disebut-sebut guru karena
perilakunya yang bandel dan mengganggu serta hiperaktif).[1]
Beberapa area akademik paling umum yang menjadi masalah bagi anak dengan
ketidakmampuan belajar adalah pelajaran membaca, bahasa tulis, dan matematika
(Hallahan & Kauffman, 2000; Lerner, 2000). Bidang paling umum yang
menyulitkan anak dengan gangguan belajar adalah aktivitas membaca, terutama
keterampilan fonologis, yang menyangkut cara memahami bagaimana suara dan huruf
membentuk kata.
Pada awal sejarah diagnosis gangguan dalam belajar, kesulitan dalam
pelajaran berhitung tidak banyak diberi perhatian. Tetapi kini diakui bahwa
gangguan belajar juga bisa terjadi di bidang matematika. Murid dengan gngguan
belajar di bidang matematika dapat jadi selalu membuat banyak kesalahan dalam
berhitung atau menggunakan cara yang tidak efisien untuk memecahkan soal-soal
matematika.
Kendati tingkat gangguan belajar ini bervariasi, dampak dari
ketidakmampuan belajar ini terlihat jelas dan relatif menetap (Bender, 1998).
Kebanyakan problem gangguan belajar ini bertahan lama bahkan seumur
hidup.dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki masalah dalam belajar, anak
yang mengalami gangguan belajar lebih mungkin berprestasi buruk, drop out, nilainya di sekolah buruk, dan
memperoleh pekerjaan rendahan (Wagner & Blackorby, 1996). Anak yang
mengalami gangguan belajar yang diajar di kelas regular tanoa dukungan
ekstensif jarang yang mencapai level kompetensi yang setara dengan anak yang
tidak punya masalah gangguan belajar. Akan tetapi, walaupun mereka memiliki
problem ini, banyak anak yang menderita gangguan belajar tumbuh dan menjalani
hidup normal dan melakukan pekerjaan yang produktif.[2]
Meningkatkan kemampuan anak yang memiliki masalah dalam belajar ini
adalah tugas sulit dan umumnya membutuhkan intervensi intensif agar mereka
mampu memberikan hasil yang baik. Belum ada model program yang terbukti efektif
untuk semua anak yang memiliki masalah ketidakmampuan belajar (Terman, dkk,
1996).
Gangguan belajar cenderung menjadi gangguan kronis yang selanjutnya
mempengaruhi perkembangan sampai masa dewasa. Anak-anak dengan gangguan belajar
cenderung berprestasi buruk di sekolah. Mereka sering dinilai gagal oleh guru
dan keluarga mereka. Tidak mengherankan bahwa sebagian besar dari mereka
mengembangkan ekspektasi yang rendah dan bermasalah dengan self-esteem.[3]
2.
Penyebab Gangguan Belajar (learning disorder)
Meskipun
penyebab gangguan belajar tidak sepenuhnya dimengerti. Mereka termasuk kelainan
pada proses dasar yang berhubungan dalam memahami atau menggunakan ucapan atau
penulisan bahasa atau numerik dan pertimbangan ruang. Diperkirakan 3 sampai 15%
anak bersekolah di Amerika Serikat memerlukan pelayanan pendidikan khusus untuk
menggantikan gangguan belajar. Anak laki-laki dengan gangguan belajar bisa
melebihi anak gadis lima banding satu, meskipun anak perempuan seringkali tidak
dikenali atau terdiagnosa mengalami gangguan belajar. Kebanyakan anak dengan
masalah tingkah laku tampak kurang baik di sekolah dan diperiksa dengan
psikologis pendidikan untuk gangguan belajar. Meskipun begitu, beberapa anak
dengan jenis gangguan belajar tertentu menyembunyikan gangguan mereka dengan
baik, menghindari diagnosa, dan oleh karena itu pengobatan, perlu waktu yang
lama.
Faktor-faktor psikologis dan motivasional yang diperkuat oleh orang lain
tampaknya berperan penting pada hasil akhir yang dicapai oleh penderita
gangguan belajar. Faktor-faktor seperti sosial-ekonomi, ekspektansi kultural,
interaktasi dan ekspentasi orang itu, dan pratek manajemen anak, bersama-sama
dengan berbagai maca, defisit neurologis dan jenis dukungan yang diberikan di
sekolah tanpaknya menentukan hasilnya.[4]
3.
Fitur-fitur Gangguan Belajar (learning disorder)
Adapun
fitur-fitur pada gangguan belajar meliputi[5]
:
·
Performa di
bidang membaca, matematika, atau menulis yang secara substansial berada di
bawah umur kronologis orang itu, yang diukur berdasarkan intelegensi dan
pandidikannya.
·
Gangguan itu
secara signifikan mengganggu prestasi akademis atau aktivitas sehari-hari yang
membutuhkan keterampilan-keterampilan tersebut.
·
Bila ada defisit
pengindraan, kesulitan belajarnya jauh melampaui defisit yang terkait
dengannya.
4.
Tipe-tipe Gangguan Belajar (learning disorder)
Tipe gangguan belajar mencakup gangguan matematika (diskalkulia), gangguan menulis
(disgrafia), dan gangguan membaca
(disleksia).
1. Gangguan Matematika (diskalkulia)
Gangguan matematika menggambarkan anak-anak dengan kekurangan kemampuan
aritmatika. Merek dapat memiliki masalah memahami istilah-istilah matematika
dasar atau operasi seperti penjumlahan atau pengurangan; memahami simbol-simbol
matematika (+, -, =, dll); atau belajar table perkalian. Masalah ini mungkin
tanpak sejak anak duduk di kelas 1 SD (6 tahun) tetapi umumnya tidak dikenali
sampai anak duduk di kelas 2 atau 3 SD.
Menurut
Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Harmawan Consulting, Jakarta, diskalkulia
dikenal juga dengan istilah “math difficulty” karena menyangkut gangguan
pada kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat ditinjau secara
kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting)
dan mengkalkulasi (calculating). Anak yang bersangkutan akan menunjukkan
kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Hal ini biasanya ditandai
dengan munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas yang melibatkan angka
ataupun simbol matematis.[6]
2. Gangguan Menulis (disgrafia)
Gangguan menulis mengacu pada anak-anak dengan keterbatasan kemampuan
menulis. Keterbatasan dapat muncul dalam bentuk kesalahan mengeja, tata bahasa,
tanda baca, atau kesulitan dalam bentuk kalimat dan paragraph. Kesulitan
menulis yang parah umumnya tanpak pada usia 7 tahun (kelas 2 SD), walaupun
kasus-kasus lebih ringan mungkin tidak dikenali sampai usia 10 tahun (kelas 5
SD) atau setelahnya.[7]
3. Gangguan Membaca (disleksia)
Gangguan membaca
mengacu pada anak-anak yang memiliki perkembangan keterampilan yang buruk dalam
mengenali kata-kata dan memahami bacaan. Disleksia diperkirakan mempengaruhi 4%
dari anak-anak usia sekolah (APA, 2000). Anak-anak yang menderita disleksia
membaca dengan lambat dan kesulitan, dan mereka mengubah, menghilangkan, atau
mengganti kata-kata ketika membaca dengan keras. Mereka memiliki kesulitan
menguraikan huruf-huruf dan kombinasinya serta mengalami kesulitan
menerjemahkannya menjadi suara yang tepat (Miller-Medzon, 2000). Mereka mungkin
salah juga mempersepsikan huuf-huruf seperti jungkir balik (contoh, bingung
antara w dan m) atau melihatnya secara terbalik (b untuk d). Disleksia
biasanya tanpak pada usia 7 tahun, bersamaan dengan kelas 2 SD, walaupun
kadang-kadang sudah dikenali pada usia 6 tahun. Anak-anak dan remaja dengan
disleksia cenderung lebih rentan terhadap depresi, memiliki self-worth yang rendah, merasa tidak
kompeten secara akademik, dan menunjukkan tanda-tanda ADHD (Boetsetch, Green,
& Pennington, 1996).
ALAT
OBSERVASI
1.
Definisi operasional
Disgrafia adalah kesulitan khusus dimana
anak-anak tidak bisa menuliskan atau mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk
tulisan, karena mereka tidak bisa menyuruh atau menyusun kata dengan baik dan
mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan) untuk menulis. Pada anak-anak,
umumnya kesulitan ini terjadi pada saat anak mulai belajar menulis. Kesulitan
ini tidak tergantung kemampuan lainnya. Seseorang bisa sangat fasih dalam
berbicara dan keterampilan motorik lainnya, tapi mempunyai kesulitan menulis.
Kesulitan dalam menulis biasanya menjadi problem utama dalam rangkaian gangguan
belajar, terutama pada anak yang berada di tingkat SD.[8]
Kesulitan dalam menulis seringkali juga
disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru. Akibatnya, anak
yang bersangkutan frustrasi karena pada dasarnya ia ingin sekali
mengekspresikan dan mentransfer pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke
dalam bentuk tulisan. Hanya saja ia memiliki hambatan. Sebagai langkah awal
dalam menghadapinya, orang tua harus paham bahwa disgrafia bukan disebabkan
tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau
belajar.
Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya
perhatian orang tua dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan proses
visual motoriknya. Dysgraphia / Disgrafia adalah learning disorder dengan ciri
perifernya berupa ketidakmampuan menulis, terlepas dari kemampuan anak dalam
membaca maupun tingkat intelegensianya. Disgrafia diidentifikasi sebagai
keterampilan menulis yang secara terus-menerus berada di bawah ekspektasi jika
dibandingkan usia anak dan tingkat intelegensianya.
Gangguan menulis mengacu pada anak-anak dengan keterbatasan kemampuan
menulis. Keterbatasan dapat muncul dalam bentuk kesalahan mengeja, tata bahasa,
tanda baca, atau kesulitan dalam bentuk kalimat dan paragraph. Kesulitan
menulis yang parah umumnya tanpak pada usia 7 tahun (kelas 2 SD), walaupun
kasus-kasus lebih ringan mungkin tidak dikenali sampai usia 10 tahun (kelas 5
SD) atau setelahnya.
Kelainan
neurologis ini menghambat kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara
fisik, seperti tidak dapat memegang pensil dengan mantap ataupun tulisan
tangannya buruk. Anak dengan gangguan disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan
dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya secara
otomatis saat menulis huruf dan angka.[9]
Ada
beberapa ciri khusus anak dengan gangguan ini. Di antaranya adalah:
a.
Terdapat
ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
b.
Saat menulis,
penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
c.
Ukuran dan bentuk huruf
dalam tulisannya tidak proporsional.
d.
Anak tampak harus
berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya
lewat tulisan.
e.
Sulit memegang bolpoin
maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu
dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
f.
Berbicara pada diri
sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang
dipakai untuk menulis.
g.
Cara menulis tidak
konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
h.
Tetap mengalami
kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
2.
Penyebab Disgrafia
Secara spesifik penyebab disgrafia tidak
diketahui secara pasti, namun apabila disgrafia terjadi secara tiba-tiba pada
anak maupun orang yang telah dewasa maka diduga disgrafia disebabkan oleh
trauma kepala entah karena kecelakaan, penyakit, dan seterusnya. Disamping itu
para ahli juga menemukan bahwa anak dengan gejala disgrafia terkadang mempunyai
anggota keluarga yang memiliki gejala serupa. Demikian ada kemungkinan faktor herediter
ikut berperan dalam disgrafia.
Seperti halnya disleksia, disgrafia juga
disebabkan faktor neurologis, yakni adanya gangguan pada otak bagian kiri depan
yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis. Anak mengalami kesuitan
dalam harmonisasi secara otomatis antara kemampuan mengingat dan menguasai
gerakan otot menulis huruf dan angka. Kesulitan ini tak terkait dengan masalah
kemampuan intelektual, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar.
3.
Indikator perilaku
Tingkah
laku yang diharapkan muncul dari subjek dalam observasi ini yang akan dijadikan
sebagai representasi perilaku GAD adalah sebagai berikut :
1.
Terdapat
ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
2.
Saat menulis,
penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
3.
Ukuran dan bentuk huruf
dalam tulisannya tidak proporsional.
4.
Anak tampak harus
berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya
lewat tulisan.
5.
Sulit memegang bolpoin
maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu
dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
6.
Berbicara pada diri
sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang
dipakai untuk menulis.
7.
Cara menulis tidak
konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
8.
Tetap mengalami
kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
4.
Lembar observasi
Indikator
|
Penilaian
|
Catatan
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
|||
Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam
tulisannya
|
|
|
|
|
|
|
Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil
masih tercampur
|
|
|
|
|
|
|
Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak
proporsional
|
|
|
|
|
|
|
Anak tampak harus berusaha keras saat
mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan
|
|
|
|
|
|
|
Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap
|
|
|
|
|
|
|
Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis,
atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis
|
|
|
|
|
|
|
Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur
garis yang tepat dan proporsional
|
|
|
|
|
|
|
Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta
menyalin contoh tulisan yang sudah ada
|
|
|
|
|
|
|
Berikan tanda
contreng (√ ) pada salah satu alternatif jawaban
Keterangan : SS =
sangat sesuai ; S = sesuai ; KS = kurang sesuai ; TS = tidak sesuai
SUBYEK/KLIEN
1.
Data Klien
1. Nama klien :
Safira
2. Tanggal lahir :
05 Juni 1995
3. Jenis kelamin :
Perempuan
4. Alamat : Jl. Pantai Lombang,
Batang-Batang,
Sumenep
5. Umur :
17 tahun
6. Sekolah :
Mts. Miftahul Ulum
7. Kelas :
VII (tujuh)
8. Nama bapak :
Muhammad Abduh
9. Nama ibu :
Sulistiani
10. Pekerjaan orang tua :
Petani
2.
Riwayat Kasus
Subjek
yang saya observasi ini pertama kali gangguan menulisnya tanpak yaitu pada saat
duduk di kelas 1 SD (tahun kedua, karena tidak naik kelas), dengan umur masih 7
tahun. Ciri gangguan menulis (disgrafia)
yang tanpak pada subjek saat itu adalah masih sulitnya memegang pensil dengan
tepat, padahal sudah dua tahun belajar di sekolah. Hingga sekarang meskipun subjek sudah duduk di bangku
SMP kelas dua masih tetap tidak bisa memegang pensil dengan tepat sesuai dengan
kenormalan yang ada. Cara dia memegang pensil atau bolpoin ketika mau menulis
terlalu ke ujung atau ke bawah pensil. Dan semua lima jari tangannya yang
memegang pensil tertumpuk pada pensilnya.
Selain itu ciri lain yang tanpak pada saat subjek masih sekolah SD yaitu
selalu memperhatikan tangannya yang digunakan untuk menulis. Setiap menulis dia
selalu menundukkan kepalanya dengan memperhatikan tangannya yang sedang
menulis. Dan sampai sekarang ciri itu masih tanpak pada subjek.
Ciri atau gejala lain selain di atas yang tanpak pada subjek kami yaitu
pada saat kelas 4 dan 5 SD. Gejala itu antara lain, bentuk huruf hasil tulisan
tidak konsisten, penggunaan huruf besar dan kecil masih tercampur, ukuran
bentuk tuisan tidak proporsional, cara menulis tidak konsisten, sambil
berbicara saat menulis, dan masih tetap mengalami kesulitan meskipun saat
menyalin contoh tulisan yang ada. Meskipun semua itu sudah tanpak pada saat
masih kelas 1 SD, namun itu belum bisa dsimpulkan bahwa anak tersebut tidak
mampu. Sebab pada usia kelas 1-3 SD secara normal kebanyakan anak juga masih
belum mampu terhindar dari gejala-gejala di atas. Jika sudah masuk usia kelas
4-5 SD secara normal mayoritas anak sudah mampu melewati atau menyelesaikan
masalah seperti tadi. Namun, yang terjadi pada klien kami sampai sekarang pun
masih belum bisa melewati atau menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
3.
Riwayat Perkembangan
Safira lahir pada tanggal 05 Juni 1995. Dia lahir dengan sempurna tanpa
mengalami hambatan apapun. Dia hidup dan berkembang secara normal tanpa masalah
hingga masuk usia sekolah. Secara kognitif, psikomotor, dan afektifnya
berkembang dan berfungsi secara normal.
Dia mulai masuk sekolah SD di usia 6 tahun. Dan selama dis ekolah SD dia
jalani selama 10 tahun, karena tidak naik kelas selama empat kali. Safira saat
SD sering tidak naik kelas yaitu saat kelas 1 tidak naik kelas dua kali dan dua
kali juga saat kelas 2 SD. Sehingga dia lulus SD dengan waktu yang sangat lama
yaitu 10 tahun. Alasan dia sering tidak naik karena lambatnya perkembangan
belajarnya. Dia tidak bisa melewati masa belajarnya dengan normal seperti
halnya anak normal lainnya. Selama kelas 1 dan 2 SD kemampuan untuk memahami
pelajaran masih minim, itu bisa dilihat dari kemampuan membaca, menulis, dan
menghitungnya belum lancar. Dan juga bisa dilihat dari hasil ulangan harian
serta raportnya yang nilainya anjlok.
Namun, setelah kelas 3 SD dia sudah mulai bisa mengalami perkembangan
walaupun hanya sedikit demi sedikit. Tapi itu masih belum bisa berkembang
secara normal seperti halnya anak yang lain, masih banyak kekurangan dan
kelemahan dalam bidang belajar, baik itu kognitif, psikomotor, dan afektifnya.
Sampai sekarang pun kemampuan belajarnya masih minim, sebab hasil ulangan di
sekolahnya selalu mendapatkan hasil yang jelek.
Meskipun dia sekarang sudah duduk di bangku SMP kelas VII, kognitif,
psikomotor, dan afektifnya masih belum berkembang secara normal. Dia masih
mengalami banyak kekurangan dan kelemahan dalam bidang belajar. Misalnya,
kemampuan membaca, menghitung, dan cara berkomunikasinya masih mengalami
hambatan atau tidak lancar.
Semenjak SD sampai sekarang SMP dia selalu merasa males dan sering tidak
mau untuk masuk sekolah. Menurut orang tuanya, dia sering tidak masuk sekolah
karena takut pada beberapa mata pelaran. Dan takutnya disini karena merasa
tidak mampu untuk menerima dan mempelajari mata pelajaran tersebut. Diantara
salah satu mata pelajaran yang dia takuti adalah matematika dan bahasa
indonesia. Jika sudah waktunya mata pelajaran itu dia selalu berkeinginan untuk
memilih tidak masuk sekolah.
Selain hambatan atau masalah-masalah di atas, masih ada lagi satu
masalah yang sangat tidak baik yang dialami Safira, yaitu mempunyai penyakit
kejang-kejang yang kronis. Penyakit ini timbul pada dia semenjak masih duduk di
bangku SD kelas 3 hingga sekarang. Keluarganya tidak mengetahui apa penyebab
awal timbulnya penyakit kejang-kejang ini. Tiba-tiba saat itu waktu dalam
keadaan tidur langsung kejang-kejang. Penyakit ini biasanya datang atau kambuh
setiap antara 2-3 bulan sekali. Dan kambuhnya jika dalam keadaan tidur.
Sehari-hari dia lebih sering di rumahnya dari pada main bersama
teman-teman sebayanya. Dan dia juga termasuk anak yang pendiam.
DIAGNOSA
Berdasarkan hasil observasi yang telah kami lakukan
pada klien, kami dapat mendiagnosa bahwa klien kami benar-benar telah mengalami
gangguan belajar khusunya dalam gangguan menulis (disgrafia). Hal ini
didasarkan pada beberapa indikator-indikator yang ada, dimana ada 4 indikator
yang sangat sesuai dan 2 indikator yang sesuai dengan apa yang telah dialami
oleh klien. Diantara indikator tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Saat menulis,
penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
2.
Ukuran dan bentuk huruf
dalam tulisannya tidak proporsional
dan tidak konsisten.
3.
Sulit memegang bolpoin
maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu
dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
4.
Berbicara pada diri
sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang
dipakai untuk menulis.
5.
Tetap mengalami
kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
Menurut
beberapa tokoh psikologi, bahwa apabila seseorang sudah mengalami gejala-gejala
suatu ketidaknormalan paling sediktinya tiga gejala maka orang tersebut sudah
bisa dikatakan telah mengalami ketidaknormalan.[10]
PEMBAHASAN
Disgrafia adalah
kesulitan khusus dimana anak-anak tidak bisa menuliskan atau mengekspresikan
pikirannya kedalam bentuk tulisan,karena mereka tidak bisa menyuruh atau
menyusun kata dengan baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan) untuk
menulis. Pada anak-anak, umumnya kesulitan ini terjadi pada saat anak mulai
belajar menulis. Kesulitan ini tidak tergantung kemampuan lainnya. Seseorang
bisa sangat fasih dalam berbicara dan keterampilan motorik lainnya, tapi
mempunyai kesulitan menulis. Kesulitan dalam menulis biasanya menjadi problem
utama dalam rangkaian gangguan belajar, terutama pada anak yang berada di
tingkat SD.
Dari
hasil observasi dan pendiagnosaan yang telah kami lakukan pada klien, dapat
diperoleh pembahasan sebagai berikut :
1. Gangguan belajar pada klien
Dari observasi yang telah
kami lakukan selama kurang lebih satu minggu pada klien, telah ditemukan
beberapa ciri-ciri disgrafia yang tidak mampu dijalankan oleh klien kami.
Dimana percobaan-percobaan atau ilustrasi yang diberikan oleh kami tidak bisa
diselesaikan dengan baik. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa klien kami
positif mengalami gangguan belajar disgrafia. Ini berdasarkan pada ciri-ciri
yang lebih dari tiga yang ada pada klien. Sebab kata para tokoh bahwa apabila
klien sudah mengalami gejala paling sedikitnya tiga, maka klien itu sudah bisa
dikatakan positif.
Meskipun ada yang mengatakan
bahwa dengan gangguan belajar disgrfia bisa jadi klien juga akan menderita
gangguan belajar lainnya seperti gangguan dalam membaca dan menghitung, namun
pada klien kami selain gangguan belajar disgrafia dalam hal membaca dan
menghitung masih normal.
2. Penyebab gangguan klien
Sampai sekarang masih belum
diketahui secara pasti apa penyebab sebenernya dari gangguan belajar disgrafia.
Hanya saja biasanya yang menjadi penyebab bisa dari faktor keluarga. Maksudnya jika
ada salah satu keluarga yang mengalami gangguan belajar maka tidak ada
kemunkinan anggota atau keturunan yang lainnya akan mengalami hal yang sama
juga.
Pada klien kami ini,
ternyata secara spesifik tidak ditemukan apa penyebab gangguan belajar
disgrafia yang dialaminya, hanya saja kalau ditelusuri ternyata ada salah satu
dari keluarga klien (bapaknya) yang masih buta huruf karena tidak pernah
mengenyam yang namanya pendidikan di sekolah. Mungkin ini bisa menjadi salah
satu penyebab gangguan belajar yang dialami oleh klien. Selain itu kami masih
belum menemukan penyebab lainnya.
3. Waktu munculnya gejala-gejala gangguan
Dari masa kecil hingga
hampir masuk sekolah anak ini masih belum ditemukan tanda-tanda atau ciri yang
timbul. Baru ketika sekolahnya sudah mencapai dua tahun yaitu saat berumur 7
tahun (masih kelas 1 SD) sudah mulai muncul gejala disgrafia. Dimana saat sudah
dua tahun duduk di kelas 1 dia masih belum bisa memegang pensil dengan baik
ketika menulis. Cara dia memegang pensil tidak seperti biasanya anak normal,
jari-jari pemegang pensil terlalu ke ujung pensil. Lima jari tangannya
tertumpuk jadi satu pada pensil yang dipegang dan hampir nempel ke kertas,
sehingga kelihatan kaku. Dan hasil tulisannya kurang bagus serta tidak tertata
rapi.
Mengenai berbicara sendiri
dan memperhatikan tangan yang sedang menulis ini dialami juga sejak duduk di
bangku SD kelas 1. Setiap klien disuruh menulis pandangan matannya
memperhatikan gerakan tangan yang sedang menulis. Dan untuk masalah berbicara
sendiri itu tidak terjadi setiap menulis, hanya kadang-kadang saja.
Berbicaranya disini yaitu melafalkan atau membaca dengan suara kecil kata-kata yang akan atau sedang ditulis.
Untuk gejala yang lainnya
baru bisa dikatakan bermasalah atau tidak mampu diketika sudah memasuki bangku
kelas 3 atau 4 SD, sebab di usia kelas 1-3 SD anak masih belum bisa disimpulkan
bahwa itu belum mampu atau bermasalah dengan gejala itu. Gejala itu antara
lain, bentuk huruf hasil tulisan tidak konsisten, penggunaan huruf besar dan kecil
masih tercampur, ukuran bentuk tuisan tidak proporsional, cara menulis tidak
konsisten, sambil berbicara saat menulis, dan masih tetap mengalami kesulitan
meskipun saat menyalin contoh tulisan yang ada. Secara normal mayoritas anak
1-3 SD masih belum bisa melewati hal-hal tersebut.
4. Gejala-gejala pada klien
a.
Saat menulis,
penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur
Sampai sekarang klien duduk di bangku SMP kelas VII
masih belum bisa menggunakan ejaan penulisan huruf antara yang besar dengan yang
kecil secara benar. Dilihat dari hasil tulisannya masih banyak huruf besar yang
ada di tengah-tengah kata seperti pada tulisan kata “kaliMat”. Dan ada juga
dipermulaan kata atau kalimat yang seharusnya memakai huruf besar klien kami
masih memakai huruf kecil seperti pada tulisan kata “saya”.
b.
Ukuran dan bentuk huruf
dalam tulisannya tidak proporsional
dan tidak konsisten
Jika dilihat dari hasil tulisan yang dia tulis, ukuran
dan bentuk hurufnya tidak sama antara kalimat yang satu dengan kalimat
selanjutnya. Terkadang tulisannya kecil-kecil dan terkadang juga besar. Selain
itu, tulisannya ada yang tegak dan ada juga yang agak miring.
c.
Sulit memegang bolpoin
maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu
dekat bahkan hampir menempel dengan kertas
Meskipun sudah usia SMP klien kami masih belum bisa
memegang pensil atau bolpoin dengan mantab seperti anak yang lainnya. Dia
memegang pensil terlalu dekat ke ujung pensil bahkan jarinya hampir nempel ke
kertas. Namun, hal seperti itu sudah menjadi kebiasaan dan menurut klien paling
nyaman dengan cara seperti itu. Dan dia tidak mau kalau diajarin dengan cara
yang lain.
d.
Berbicara pada diri
sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang
dipakai untuk menulis
Disetiap klien kami disuruh untuk menulis pandangan
matanya pasti memperhatikan gerakan tangan yang dipakai untuk menulis. Bahkan
jarak antara tangan dengan mata berdekatan (posisi menulis menunduk). Untuk
masalah berbicara sendiri itu tidak terjadi setiap menulis, hanya kadang-kadang
dilakukan. Berbicaranya disini yaitu melafalkan atau membaca dengan suara
kecil kata-kata yang akan atau sedang
ditulisnya.
e.
Tetap mengalami
kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada
Ketika diberi percobaan untuk menyalin sebuah
paragraf, hasilnya masih ada beberapa kata yang masih kekurangan hurufnya. Dan Jika
disuruh menulis dengan cara didekte klien kami masih bisa dikatakan lemah,
sebab jika didekte harus dengan pelan-pelan dan diperjelas kalimatnya. Dan dia
tidak suka jika menulis dengan cara didekte.
REKOMENDASI/USULAN
PENANGANAN
Model medis saat ini menjadi terbatas karena kurangnya
bukti bahwa defesiensi yang mendasari gangguan belajar dapat dikoreksi atau
perbaikan pada aspek tersebut akan meningkatkan keterampilan akademik (Hinshaw,
1992). Kurangnya bukti juga terdapat pada pendekatan psikoedukasi (Brady,
1986). Walaupun pendekatan neuropsikologis belum diuji secara lengkap,
intervensi yang ditujukan untukm mengubah strategi-strategi belajar anak dengan
tujuan untuk menghindari defisit neuropsikologis sampai sejauh ini gagal
memperlihatkan peningkatan berarti pada anak-anak dengan gangguan belajar yang
parah. Sampai saat ini intervensi yang paling tanpak menjanjikan adalah yang
memberikan intruksi-intruksi langsung pada tugas-tugas akademik dimana anak
mengalami defisiensi, misalnya keterampilan bahasa lisan dan tulisan. Model behavioral juga menunjukkan hasil-hasil
yang menjanjikan dalam meningkatkan prestasi anak yang memiliki defisiensi dalam
keterampilan membaca dan aritmatika. Masih belum jelas apakah peningkatan
akibat pelatihan behavioral dapat
digeneralisasikan pada prestasi di kelas. Pendekatan linguistik telah
memperoleh sejumlah dukungan, tetapi belum cukup untuk dianjurkan secara luas
dalam menangani anak-anak yang memiliki defisiensi membaca dan mengeja. Model
kognitif juga telah menerima sejumlah dukungan, tetapi banyak anak dengan
gangguan belajar belum mengembangkan pengetahuan dasar yang cukup mengenai
area-area permasalahan mereka dan menggunakannya untuk memikirkan
masalah-masalah tersebut lebih dalam.
Anak-anak dengan gangguan belajar banyak yang
ditempatkan dalam program-program edukasi atau kelas-kelas khusus. Namun
program untuk anak-anak dengan kesulitan belajar sangat bervariasi dalam
kualitas dan kita masih kekurangan bukti yang pasti mengenai efektivitas jangka
panjangnya.[11]
Ada
beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk membantu anak dengan gangguan menulis (disgrafia).
Di antaranya:[12]
1.
Pahami keadaan anak
Sebaiknya
pihak orang tua, guru, atau pendamping memahami kesulitan dan keterbatasan yang
dimiliki anak disgrafia. Berusahalah untuk tidak membandingkan anak seperti itu
dengan anak-anak lainnya. Sikap itu hanya akan membuat kedua belah pihak, baik
orang tua/guru maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika memungkinkan,
berikan tugas-tugas menulis yang singkat saja. Atau bisa juga orang tua meminta
kebijakan dari pihak sekolah untuk memberikan tes kepada anak dengan gangguan
ini secara lisan, bukan tulisan.
2.
Menyajikan tulisan
cetak
Berikan
kesempatan dan kemungkinan kepada anak disgrafia untuk belajar menuangkan ide
dan konsepnya dengan menggunakan komputer atau mesin tik. Ajari dia untuk
menggunakan alat-alat agar dapat mengatasi hambatannya. Dengan menggunakan komputer,
anak bisa memanfaatkan sarana korektor ejaan agar ia mengetahui kesalahannya.
3.
Membangun rasa percaya
diri anak
Berikan
pujian wajar pada setiap usaha yang dilakukan anak. Jangan sekali-kali
menyepelekan atau melecehkan karena hal itu akan membuatnya merasa rendah diri
dan frustrasi. Kesabaran orang tua dan guru akan membuat anak tenang dan sabar
terhadap dirinya dan terhadap usaha yang sedang dilakukannya.
4.
Latih anak untuk terus
menulis
Libatkan
anak secara bertahap, pilih strategi yang sesuai dengan tingkat kesulitannya
untuk mengerjakan tugas menulis. Berikan tugas yang menarik dan memang
diminatinya, seperti menulis surat untuk teman, menulis pada selembar kartu
pos, menulis pesan untuk orang tua, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kemampuan
menulis anak disgrafia dan membantunya menuangkan konsep abstrak tentang huruf
dan kata dalam bentuk tulisan konkret.
Adapun
penanganan secara terstruktur dapat dilakukan melalui beberapa hal berikut:[13]
1.
Faktor kesiapan menulis
Menulis membutuhkan kontrol maskular,
koordinasi mata-tangan, dan diskriminasi visual. Aktivitas yang mendukung
kontrol muskular antara lain: menggunting, mewarnai gambar, finger painting,
dan tracing. Kegiatan koordinasi mata-tangan antara lain: membuat
lingkaran dan menyalin bentuk geomteri. Sementara itu, pengembangan
diskriminasi visual dapat dilakukan dengan kegiatan membedakan bentuk, ukuran,
dan detailnya, sehingga anak menyadari bagaimana cara menulis suatu huruf.
2.
Aktivitas lain yang mendukung
o
Kegiatan yang
memberikan kerja aktif dari pergerakan otot bahu, lengan atas serta bawah, dan
jari.
o
Menelusuri bentuk
geometri dan barisan titik.
o
Menyambungkan titik.
o
Membuat garis
horizontal dari kiri ke kanan.
o
Membuat garis vertikal
dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.
o
Membuat bentuk-bentuk
lingkaran dan kurva.
o
Membuat garis miring
secara vertikal.
o
Menyalin bentuk-bentuk
sederhana.
o
Membedakan bentuk huruf
yang mirip bentuknya dan huruf yang hampir sama bunyinya.
3. Menulis huruf lepas/cetak
o
Perlihatkan sebuah
huruf yang akan ditulis.
o
Ucapkan dengan jelas
nama huruf dan arah garis untuk membuat huruf itu.
o
Anak menelusuri huruf
itu dengan jarinya sambil mengucapkan dengan jelas arah garis untuk membuat
huruf itu.
o
Anak menelusuri garis
tersebut dengan pensilnya.
o
Anak menyalin contoh huruf
itu di kertas/bukunya.
Jika cara ini sudah dikuasai, mintalah
anak menyambungkan titik yang dibentuk menjadi huruf tertentu, sampai akhirnya
anak mampu membuat huruf dengan baik tanpa dibantu. Tahap selanjutnya adalah
menulis kata dan kalimat.
4.
Menulis huruf transisi
Huruf transisi adalah huruf yang
digunakan untuk melatih siswa sebelum menguasai huruf sambung. Adapun
langkah-langkah pengajarannya sebagai berikut:
o
Kata atau huruf ditulis
dalam bentuk lepas atau cetak.
o
Huruf yang satu dan
yang lain disambungkan dengan titik-titik dengan meggunakan warna yang berbeda.
o
Anak menelusuri huruf
dan sambungannya sehingga menjadi bentuk huruf sambung.
5.
Menulis huruf sambung
o Mengajarkan
huruf sambung dapat menggunakan langkah-langkah huruf lepas dan transisi.
o Kami
sertakan tabel cara melatih anak disgrafia agar dapat menulis dengan baik dan
benar seperti di bawah ini.
Faktor
|
Masalah
|
Penyebabnya
|
Remedial
|
Bentuk
|
Huruf
terlalu miring
|
Posisi
kertas yang miring
|
Betulkan
posisi kertas sehingga tegak lurus dengan badan
|
Ukuran
|
Terlalu
besar dan terlalu tebal
|
·
Kurang memahami garis
tulisan
·
Gerakan tangan yang
kaku
|
·
Ajarkan kembali
tentang konsep ukuran dan perjelas garis tulisan
·
Latih gerakan tangan,
salah satu caranya dengan latihan membuat lingkaran atau bentuk lengkung
|
Spasi
|
·
Huruf dalam satu kata
seperti menumpuk
·
Spasi antar-huruf
terlalu lebar
|
·
Kurang memahami
konsep spasi
·
Kurang memahami
bentuk dan ukuran
|
·
Ajarkan kembali konsep spasi antar-kata
·
Kaji kembali konsep bentuk ukuran dan huruf
|
Kualitas
garis
|
Terlalu
tebal atau menekan terlalu tipis
|
Masalah
pada tekanan tulisan
|
Perbaikilah
cara-cara memegang alat tulis, perbaiki juga gerakan tangan,
serta beikan latihan menulis di atas kertas tipis dan kertas kasar
|
Kecepatan
|
Lambat
ketika dalam menulis yaitu ketika menyalin atau saat dikte
|
Tingkat
kemampuan menulis tidak sebanding dengan kecepatannya
|
Latih
menarik garis lurus dengan cepat serta latihan membuat bentuk melingkar,
tegak dan melengkung di kertas berpetak
|
DAFTAR
PUSTAKA
ü Azwar,
Drs. Saifuddin. 1999, Penyusunan Skala Psikologi, PT.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
ü Durand, V. Mark. 2007, Psikologi Abnormal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
ü Nevid,
Jeffrey S. 2003, Psikologi Abnormal, Erlangga, Jakarta.
ü Supratiknya,
Dr. A. 2000, Mengenal Perilaku Abnormal, Kanisius, Yogyakarta.
ü Wiramihardja,
Psi. Prof. Dr. Sutardjo A. 2005, Pengantar Psikologi Abnormal, Refika
Aditama, Bandung.
ü http://fanisliend.blogspot.com/2012/04/makalah-gangguan-belajar-disgrafia.html diakses 14 Juni 2012 jam 14.00.
LAMPIRAN
ü Lampiran I
LEMBAR OBSERVASI
Perilaku Disgrafia
Indikator
|
Penilaian
|
Catatan
|
||||
SS
|
S
|
KS
|
TS
|
|||
Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam
tulisannya
|
√
|
|
|
Hasi tulisannya ada yang tegak dan ada juga yang
miring
|
||
Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil
masih tercampur
|
√
|
|
|
|
Dalam satu kata penggunaan huruf besar dan kecil
masih bercampuran, seperti “kaliMat”
|
|
Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak
proporsional
|
√
|
|
|
|
Dalam beberapa garis hasil tulisannya ada yang
besar dan kecil
|
|
Anak tampak harus berusaha keras saat
mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan
|
|
|
√
|
-
|
||
Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap
|
|
√
|
|
|
Ketika megang pensil jari tangan sangat dekat
dengan ujung pensil
|
|
Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis,
atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis
|
√
|
|
|
|
Posisi saat menulis terlalu nunduk dan matanya
memperhatikan tangan yang sedang menulis. Terkadang kata yang ditulis sambil
disuarakan
|
|
Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur
garis yang tepat dan proporsional
|
|
|
|
√
|
-
|
|
Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta
menyalin contoh tulisan yang sudah ada
|
|
√
|
|
|
Saat disuruh menyalin sebuah paragraf,
hasilnya masih ada beberapa kata yang kurang hurufnya
|
|
Berikan tanda
contreng (√ ) pada salah satu alternatif jawaban
Keterangan : SS =
sangat sesuai ; S = sesuai ; KS = kurang sesuai ; TS = tidak sesuai