A. Pengertian Budaya
Budaya adalah suatu
pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstraks, dan luas. Banayak
aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unusur-unsur sosio-budaya
ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Karena sangat
kompleksnya budaya maka sangat banyak sekali pengertian budaya yang ditulis
oleh para ilmuan yang mempelajari tentang budaya, diantaranya adalah sebagai
berikut: budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu budhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa inggris
kebudayaan disebut culture yang berasal kata latin colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau
bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam
bahasa Indonesia.
Kebudayaan dalam
Psikologi adalah seperangkat sikap, nilai, keyakinan, perilaku yang dimiliki
oleh sekelompok orang, namun ada derajat perbedaan pada setiap individu, dan dikomunikasikan dari 1 generasi ke
generasi berikut (Matsumoto,1996).
• Budaya sebagai konstruk social
:tidak pernah lepas dari pengertian suatu kelompok merupakan kekhasan yang membedakan kelompok satu dengan kelompok lain.
• Budaya
sebagai konstruk individu
:ada variasi derajat internalisasi setiap individu anggota kelompok budaya (perbedaan individual).
Dari pengertian ini,
berarti hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan. Karena hanya sedikit
tindakan manusia yang berasal dari naluri tanpa melalui proses belajar.
Misalnya, tindakan makan. Makan sebenernya naluri manusia untuk bertahan hidup.
Akan tetapi, setelah diselipi kebudayaan muncul cara-cara makan yang berbudaya,
sopan, pantas, atau sesuai dengan estetika.
Kebudayaan sangat erat
hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski
mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan
oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk
pendapat itu adalah culture determinisme.
Herkovits memandang
kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi
yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas
Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai social, norma
social, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur social, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi cirri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan
merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan
dan Soelaiman Soemadji, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.
Dari berbagai definisi
tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang
akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi system idea tau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya
pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi, seni
dan lain-lain yang kesemuanya ditujukan
untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan merupakan
sesuatu yang sangat komplet, yang tidak ada habisnya untuk didiskusikan, Karena
budaya hal yang dinamis bukan sesuatu yang stagnan, selama manusia berada di
atas bumi ini maka kebudayaan akan terus berkembang.
B. Budaya Madura
Pulau Madura terdiri
dari empat kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Terletak di timur laut pulau Jawa dengan kodinat sekitar 7 lintang selatan dan
antar 112 dan 114 bujur timur. Panjang pulau Madura kurang lebih 190 km, jaraj
terlebar 40 km, dan luas secara keseluruhan 5.304 km2. Ketinggian dari
permukaan laut berkisar antara 2 meter-350 meter. Ketinggian paling rendah
adalah daerah-daerah pantai baik di bagian barat, utara, timur dan selatan.
Sedangkan ketinggian tertinggi menyebar di bagian tengah pulau berupa
pegunungan-pegunungan kecil. Pulau ini dikelilingi pulau-pulau kecil yang
jumlahnya lebih dari 100 buah pulau, baik yang berpenghuni maupun tidak.
Kebanyakan pulau kecil ini berada di bagian timur yaitu daerah Sumenep.
Walaupun Madura hanya
terdiri dari empat kabupaten, dilihat dari aspek budaya yang dianut dan
dijadikan standar dalam berperilaku tidak ada perbedaan antar warga masyarakat
Madura yang mendiami empat kebupaten tersebut. Madura dikenal dengan keunikan
dan kekhasan budayanya. Penggunaan istilah khas disini menunjuk pada pengertian
bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan cultural yang tidak serupa
dengan etnografi komunitas etnik lain.
Latief Wiyata
mengatakan bahwa kekhususan kultur itu tanpak antara lain pada ketaatan,
ketundukan, kepasrahan mereka secara hirarkis kepada empat figur utama dalam
kehidupan, lebih-lebih dalam praksis keberagamaan. Keempat figure itu adalah
buppak, ebuh, guru dan rato (ayah, ibu, guru, dan pemimpin). Kepada empat figur
utama itulah kepatuhan hirarkis orang-orang Madura menampakkan wujudnya dalam
kehidupan social budaya mereka.
Madura memiliki kekayan
tradisional yang amad banyak, beragam dan amad bernilai. Dalam menghadapi dunia
global yang membawa pengaruh materialisme dan pragmatisme, kehadiran kesenian
tradisional dalam hidup bermasyarakat di Madura sangat diperlukan, agar kita
tidak terjebak pada moralitas asing yang bertentangan dengan moralitas lokal
atau jati diri bangsa. Kita sebagai orang Indonesia harus mengenal budaya
Madura yang masih hidup, bahkan yang akan dan tekah punah. Pengenalan terhadap
berbagai macam kebudayaan Madura tersebut akan diharapkan mampu menggugah rasa
kebangsaan kita akan kesenian daerah.
Madura dikenal sebagai
wilayah yang tandus namun kaya akan kebudayaan. Kekayaan budaya yang terdapat
di Madura dibangun dari berbagai unsur budaya bai dari pengaruh animisme,
hinduisme, dan islam. Perkawinan dari ketiga unsur tersebut sangat dominan
mewarnai kebudayaan yang ada. Dalam perkembangannya berbagai kesenian yang
bernafaskan religius, terutama bernuansa islami ternyata lebih menonjol. Keanekaragaman
dan berbagai bentuk seni budaya tradisional yang ada di Madura menunjukan betapa
tinggi budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Kebudayaan yang berisi
nilai-nilai adiluhur yang berlandaskan nilai religius islami seharusnya
dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi muda sebagai penerus warisan
bangsa. Budaya lokal adalah asset kekayaan yang akan mampu melindungi generasi
muda dari pengaruh negativ era globalisasi. Pengaruh budaya global yang
demikian gencar melalui media elektronik dan media cetak menyebabkan generasi
muda kehilangan jati diri.
Kebudayaan-kebudayaan yang ada di Madura yag masih lekat dan dilestarikan antara
lain:
a.
Ater-ater
b.
Kerapan Sapi
c.
Sapi sonok
d.
Jeren kencak
e.
Musik Seronen
f.
Otok-otok/Aremuh
g.
Sandur
h.
Tari Duplang
i.
Arokat
j.
Arasol makam
k.
Jeklorjuk
l.
Arokat Disah
m. Amaleman
n.
Nyanguih
o. Namapanih
p. Akosar
C. Budaya Ater-Ater
Terdapat tradisi yang
unik, mengesankan, dan agak sulit kita temukan di tempat selain di Madura atau
paling tidak di masyarakat Madura. Tradisi tersebut adalah budaya Ater-ater.
Ater-ater ini adalah sebentuk tradisi masyarakat Madura terutama di pedalaman
dan grass root yang paling banyak ditemui ketika ada hajatan, selametan dalam
segala macamnya, hari raya keagamaan, tasyakuran, dan lain sebaginya. Hari keagamaan
disini berupa hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, hari raya Ketupat, Maulid
Nabi Muhammad SAW, Isra’Mi;raj, Sa’banan (tanggal 15 bulan Sa’ban), malam 21
dan 27 pada bulan Ramadhan, dan peringatan hari-hari tertentu orang yang telah
meninggal (malam ke 3, 7, 40 hari, 100 hari, tahunan, dan 1000 hari). Sedangkan
mengenai macam-macam hajatan atau selamatan itu sendiri berupa acara
pernikahan, acara lamaran, tasyakuran hasil panen, selamatan wanita yang baru
hamil pertama kali (ketika umur 7 bulan), Asyuroan (biasanya masyarakat Madura
ketika masuk bulan Asyuro mengadakan selamatan dengan membuat bubur khas
Madura), selamatan bulan Safar (masyarakat Madura mengadakan selamatan dengan
membuat bubur merah), dan banyak lagi yang lainnya. Bahkan, ada pula yang rutin
setiap minggu pada malam Jum’at. Hanya saja biasanya banyak dilakukan kepada
guru ngaji dan sebagainya.
Kegiatan ater-ater ini
diaplikasikan dengan menghantarkan barang (terutama makanan) pada sanak
keluarga atau tetangga yang ada di sekitar. Namun tidak jarang tradisi ini juga
dilakukan dan tujukan pada sanak saudara yang jauh.
Bagi kalangan
masyarakat Madura, ater-ater merupakan tradisi yang telah turun-temurun. Hal
ini dilakukan untuk menyambung dan mempererat tali silaturrahmi antar keluarga
atau tetangga. Budaya tersebut sudah turun temurun warisan dari nenek moyang
yang sampai saat ini tetap dilestarikan oleh generasi muda. Ter-Ater itu yakni
saling tukar atau mengantarkan nasi lebaran ke sanak famili atau kepada
tetangga baik yang dekat maupun yang jauh yang diyakini akan memperlancar
rejeki serta memperpanjang usia dan di jauhkan dari mara bahaya.
Bapak Ibnu Hajar, salah
satu seorang budayawan Madura menjelaskan bahwa budaya Ter-Ater nasi lebaran
yang diantarkan lengkap dengan ikan dan lauk serta kuahnya. Budaya itu di
lakukan saat menyambut lebaran Idul Fitri yang menandakan ke akraban sesama
tetangga dan famili untuk saling bersilaturahmi, serta tanda syukur telah dapat
menjalankan ibadah puasa satu bulan penuh. Adat istiadat tersebut selain tanda
syukur sudah mejalankan puasa satu bulan penuh, juga diyakini memperpanjang
usia dan akan memperlancar rejeki hingga bulan puasa tiba kembali. Kepercayaan
orang Madura perlunya melestarikan budaya itu, karena akan memperlancar rejeki
dan akan panjang usia.
Barang yang dibawa
sebagai oleh-oleh bagi yang dikunjungi berupa makanan yang siap saji, seperti
nasi putih berserta lauk daging sapi, kambing, ayam, lengkap dengan kue dengan
berbagai macam jenisnya. Jajanan, nasi, dan lauk pauk tersebut disimpan dalam
wadah khusus, semacam termos untuk piknik. Lalu dijinjing dibawa ke tempat
saudara atau tetangga yang akan dikun jungi.
Makanan siap saji dan
tidak tahan lama tersebut biasa dibawa pada saudara atau tetangga dekat. Jika
yang hendak dikunjungi atau diater-ater adalah keluarga yang letaknya jauh,
barang bawaannya biasanya barang yang tidak mudah basi tapi unik. Hanya bisa
didapat di tempat-tempat tertentu.
Budaya atau tradisi ater-ater
ini dikalangan masyarakat Madura juga dikenal dengan istilah Rebba. Dan
ini tidak hanya dilakukan kepada para kerabat, dan sanak famili saja, tapi juga
kepada sesepuh desa, guru ngaji dan pengasuh pondok pesantren atau kyai.
Ter-ater untuk kyai
pengasuh pondok pesantren, bukan hanya berupa makanan, tapi bisa juga berupa
hasil bumi. Seperti jagung, padi, ketela pohon, dan berbagai jenis buah-buahan
yang menjadi hasil pertanian mereka. Setiap panen, baik panen jagung ataupun
padi, pasti disisihkan khusus untuk kyai dan guru ngaji anak-anak dari
masyarakat itu sendiri
Di bulan suci Ramadhan,
tradisi saling mengantar makanan, atau ter-ater biasanya pada malam
pertama puasa dan pertengahan bulan puasa, yakni mulai tanggal 17 Ramadhan
hingga hari raya Idul Fitri.
Pada malam pertama
Ramadhan dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan dalam menyambut datangnya bulan
yang penuh berkah dan ampunan Allah. Sedang pada tanggal 17 Ramadhan hingga
hari raya Idul Fitri diharapkan akan mendapat berkah malam lailatur-qodar,
dimana sebagian ulama mempercayai bahwa malam lailatul-qodar mulai tanggal 17
Ramadhan hingga hari raya Idul Fitri pada malam ganjil. Seperti malam tanggal
17, 19, 21, tanggal 23, 25, 27 hingga 29 Ramadan.
Sebagai salah satu dari
elemen budaya masyarakat Madura, ater-ater dapat dijadikan sebuah teropong atau
sekeping cermin yang dapat menggambarkan identitas dan karakter masya rakat
Madura.
Namun tradisi ini
sering luput dari perhatian para peneliti. Mungkin saja tradisi ini dianggap
cukup sepele dan biasa-biasa saja. Padahal, ater -ater ini adalah salah satu
kegiatan atau ritual budaya yang membuat banyak orang menyimpulkan bahwa
masyarakat Madura adalah masyarakat yang ramah, dermawan, komunikatif, baik
hati, dan memiliki solidaritas yang tinggi pada sesama.
Pada momen hari raya
keagamaan seperti lebaran, ater-ater ini menemukan momennya yang cukup
signifikan. Hampir setiap orang masyarakat Madura melakukannya. Mereka tidak
sekedar pergi bertamu untuk bersalam-salaman dan bermaaf-maafan. Mereka tidak
lupa membawa sesuatu yang mereka makan di rumahnya.
Pada momen lebaran,
ater-ater biasanya didominasi oleh mereka yang sedang bertunangan.
Rasanya tidak pas jika ater-ater pada sanak saudara di hari raya, jika tidak
bersama-sama tunangan. Tidak jarang, budaya ater-ater ini dijadikan wahana bagi
seseorang untuk memperkenalkan tunangannya pada tetangga atau keluarganya yang
lain. Selain itu kebanyakan para pasangan suami istri muda yang baru nikah juga
memanfaatkan momen-momen tertentu atau hari-hari tertentu tersebut di atas
untuk memperkenalkan sekaligus mempamerkan pasangannya dengan cara ater-ater
makanan atau jajanan kue kepada para sanak keluarganya baik yang dekat maupun
yang jauh.
v Akulturasi Budaya
Tradisi yang telah
turun menurun ini lahir dari relung kebudayaan masyarakat Madura yang cukup
dalam. Jika bertemu dengan sesepuh Madura, lalu ditanya tentang ater-ater,
kurang lebih mereka akan menjawab bahwa hal itu dilakukan agar saudara atau
tetangganya dapat hidup dan merasakan nikmatnya makanan seperti yang telah dia
makan. Terlebih, mereka terkadang akan menjawab agar tidak punya hutang rasa.
Bagi mereka, ketika tetangga atau sanak saudara mencium aroma masakan dari dapur
kita berarti kita telah memiliki “hutang” pada mereka hingga kita dapat
menghantarkan sebagian makanan tersebut pada mereka.
Hal ini menarik
dicermati dan dimaknai. Dengan demikian budaya ater-ater merupakan budaya yang
menunjukkan rasa empati, simpati, sekaligus menarik seseorang agar terhindar
dari mental individualistis. la menunjukkan rasa solidaritas dan kepedulian
sosial yang cukup tinggi terhadap sesama.
Filosofi-filosofi
serupa akan mudah kita temukan dalam ajaran Islam, terutama dalam tradisi sufi.
Ater-ater secara tersirat sebenamya juga diajarkan Nabi Muhammad SAW. Dalam
sebuah hadis, Nabi Muhamad menuturkan, “Rayakanlah pesta perkawinan,
umumkanlah walaupun hanya dengan seekor kambing, dan perbanyaklah kuahnya agar
semua sanak famili dan tetanggamu juga dapat merasakan kebahagiaan.”
Bukan tidak mungkin
tradisi ater-ater di kalangan masyarakat Madura ini merupakan budaya yang
ditransmisikan dari budaya dan ajaran Islam. Pada sekitar abad ke-15, Islam
masuk ke Madura (Rifa’i, 2007). Masuknya agama Islam di Madura banyak membuat
perubahan budaya keberagamaan yang bersifat sinkretis. Hal ini bisa dilihat
masih banyaknya masyarakat Madura yang masih suka membakar kemenyan pada malam
Jumat. Ini terjadi tidak hanya di pedesaan, tapi juga di perkotaan Madura.
Sudah mafhum, kebiasaan yang demikian merupakan warisan agama Budha dan Hindu.
Dinamisasi pola keberagamaan
juga mempengaruhi banyak hal dari sisi kehidupan orang Madura. Seperti, nama
yang diberikan kepada anaknya. Yang asalnya orang Madura sering memberi nama
anaknya Bhunkot, Kaddhu’, Bengngug, dan seterusnya, pada tahap setelah masuknya
Islam berubah menjadi Islami atau kearab-araban (Rifa’i, 2007). Tradisi
ater-ater bisa jadi masuk melalui transmisi ajaran dan nilai-nilai Islam
sebagaimana nama-nama tersebut.
Pada saat ini, tradisi
ater-ater masih saja berlangsung, meskipun gaungnya tak sedahsyat yang
sebelumnya. Siapa pun bertanggungjawab menjaga kelestariannya untuk membendung
arus globalisasi yang menggiring pada paradigma mental liberalisme dan individualisme.
Merebaknya alat komunikasi seperti handphone di seluruh pelosok desa Madura
membuat sebagian masyarakat merasa tidak perlu melakukan ater-ater kalau hanya
hendak berkomunikasi dengan tetangga atau sanak saudara. Mereka cukup SMS.
Konservasi tradisi
ater-ater ini dapat pula berarti meminimalisasi dampak buruk dari dinamika
proses modernisasi yang semakin tidak peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Sebab, tradisi ater-ater merupakan simbol solidaritas, kepekaan, kepedulian,
dan kesetiakawanan.
v Berbagi
Rasa
Pada prinsipnya tradisi
ter-ater mempunyai tujuan silaaturrahim antar tetatangga, sanak famili dan
kerabat keluarga dengan media berbagai rasa makanan, meski kerap yang terjadi
menu masakan yang dihantar hampir tidak ada perbedaan. Uniknya meski
seseorang (satu rumah tangga) mendapat sekian hantaran, namun tidak
akan dihantar kepada pihak lain. Karena apabila hasil hantaran kemudian
dihantarkan kepada orang lain, akan menjadi celaan dan mendapat sangsi sosial
dari lingkungannya, yaitu akan menjadi san-rasan atau erasani tidak baik karena
tidak menghargai hasil ter-ater.
Bagi masyarakat
tradisional Madura (pedesaan maupun perkotaan) terater merupakan “kewajiban”
yang harus dijalankan, karena menyangkut rasa malo atau todus. Dan ter-ater
tidak dihitung seberapa banyak atau seberapa enak masakan yang dihantar. Meski
demikian ter-ater diusahakan dengan menampilkan sesuatu yang bernilai dibanding
suatu masakan makanan yang disantap setiap harinya.
Dua hal penting bagi
masyarakat Madura dalam berbagi rasa masakan. Pertama kepada tamu. Tamu diberi
nilai tinggi dalam hal penyediaan perhargaan makanan. Satu kebiasaan tuan
rumah, memberi hidangan kepada tamu merupakan hal prinsip sebagai salah satu
bentuk nilai kehidupan sosialnya. Sebagaimana terjadinya carok di Madura, tiga
alasan mendasar yang menyebabkan terganggunya seseorang, yaitu: harga diri,
wanita dan air (baca : Kilasan kenangan Hitam “Carok”).
Jadi apabila seseorang
menghidangkan makanan kemudian oleh tamu tidak dimakannya maka sama artinya
mengganggu harga diri, karena ketika seseorang menghidangkan makanan untuk
tamu, berarti dia (mereka) telah mengorbankan apa yang mereka miliki (menu
makanan meski hanya memiliki seekor ayam) demi sang tamu. Yang kedua, yaitu
ter-ater yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pristise keluarga dalam
memberikan nilai terhadap orang lain.
v Terjadinya
Perubahan Paradigma
Sesuatu yang bermanfaat
kerap tidak diimbangi dengan kontinyuitas. Banyak penyebab terjadinya perubahan
sosial masyarakat, khususnya masyarakat Madura yang ternyata telah benyak
kehilangan nilai-nilai dalam kearifan sebagaimana yang terjadi pada tradisi
ter-ater.
Pragmatisme nampaknya
menjadi sumbu utama terjadinya perubahan paradigma ter-ater. Alasan klasik yang
kerap menjadi landasan pada masyarakat modern yaitu kepraktisan dalam segala
tindakan adalah hal utama. Termasuk ter-ater, dalam perubahannya menu ter-ater
yang dulu hasil masakan proses sendiri, telah berubah menjadi pesanan pada
catering kemudian dihantarkan dengan wadah dos atau plastik yang banyak dijual
di toko-toko, khususnya bagi masyarakat perkotaan.
Nah disinilah
persoalannya. Kalau jaman dulu masyarakat Madura dalam memproses hantaran dari
masakan sendiri, kemudian dihantar dengan piring yang dilandasi daun pisang
dipotong membundar, dihantar dengan talam atau nampan, lalu ditutupi dengan
sejenis tampak rajutan benang. Indah dan alami.
Ironisnya, justru
sebagaian besar masyarakat Madura perkotaan sudah tidak kenal yang namanya
ter-ater. Akulturasi budaya tampaknya membebani mereka dalam melakukan
ter-ater. Keengganan (lantaran pragmatisme) ibu rumah tangga membagi rasa
makanan kepada tetangga, sanak keluarga dan kerabatnya telah demikian menguat,
sehingga hari-hari menjelang ramadhan, maupun menjelang dan saat lebaran,
terasa biasa-biasa, sepi dan tidak ada aktifitas sosial antar tetangga.
Namun demikian, meski
tidak sekuat pada jaman dulu, masyarakat Madura tradisional di pedesaan masih
mencoba dan berusaha tradisi ter-ater ini untuk menjadi bagian dari proses
kehidupan sosial mereka. Karena apapun alasannya, peristiwa lebaran merupakan
peristiwa yang diagungkan, peristiwa yang menyangkut urusan keagamaan dan
kebudayaan.
Dari beberapa
penjelasan mengenai budaya ater-ater di kalangan masyarakat Madura di atas, jika
kita sesuaikan dengan beberapa teori dari budaya itu sendiri maka dapat
dianalisis dan disimpulkan bahwa budaya atau tradisi tersebut memang sudah
selayaknya dikategorikan sebagai salah satu kebudayaan khas Madura, sebab
budaya atau tradisi tersebut sudah sesuai dan memenuhi beberapa kriteria atau
syarat-syarat sebagai kebudayaan. Dimana budaya atau tradisi Ater-ater di
kalangan masyarakat Madura itu sudah ada sejak zaman dahulu, keturunan dari
nenek moyang, diyakini dan tetap dijalankan oleh masyarakat hingga sampai sekarang,
terjadi turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan bahkan
menjadi nilai serta norma bagi masyarakat Madura.
~ Sekian
Terimakasih ~