BAB I
PENDAHULUAN
Hingga dewasa ini, korupsi masih menjadi problem di negara-negara
berkembang. Korupsi memang sudah menjadi penyakit sosial di negara-negara
berkembang dan sangat sulit diberantas. Untuk melakukan pemberantasan korupsi
ternyata juga sangat banyak hambatannya. Makanya, bagaimanapun kerasnya usaha
yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga negara ternyata korupsi
juga tidak mudah dikurangi apalagi dihilangkan. Bahkan secara seloroh bisa
dinyatakan bahwa korupsi tidak akan pernah bisa untuk dihilangkan. Kenyatannya
memang tidak ada suatu negara di dunia ini yang memiliki indeks persepsi
korupsi (IPK) yang berada di dalam angka mutlak 10, paling banter adalah
mendekati angka mutlak tersebut.
Sejarah korupsi memang setua usia manusia. Ketika manusia mengenal
relasi sosial berbasis uang atau barang, maka ketika itu sebenarnya sudah
terjadi yang disebut korupsi. Hanya saja memang kecanggihan dan kadar
korupsinya masih sangat sederhana. Akan tetapi sejalan dengan perubahan kemampuan
manusia, maka cara melakukan korupsi juga sangat variatif tergantung kepada
bagaimana manusia melakukan korupsi tersebut. Jadi, semakin canggih manusia
merumuskan rekayasa kehidupan, maka semakin canggih pula pola dan model
korupsinya.
Sekarang ini masyarakat Indonesia seakan dimanjakan oleh massa
media baik cetak maupun elektronik dengan suguhan berita tentang kasus-kasus
korupsi. Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku korupsi seakan telah menjadi
fenomena social ditengah masyarakat. Perilaku ini telah merasuki semua sendi
kehidupan mulai dari yang terkecil seperti lingkup sekolah sampai kepada
lingkup terbesar dalam pengelolaan keuangan Negara.
Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa karena terjadi di semua
bidang kehidupan dan dilakukan secara sistematis, sehingga sulit untuk
memberantasnya. Korupsi di Indonesia dapat dikatakan sudah merupakan endemic, sistemic, dan widespread. Korupsi bahkan sudah merampas
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) masyarakat banyak sehingga harus
diberantas.
Dengan semakin marak dan mengakarnya perilaku korupsi sampai
tingkat terbawah dan besarnya dampak negative yang diakibatkannya, rasanya
tidak mungkin untuk memberantas perilaku jahat ini hanya dengan mengharapkan
lembaga hukum negara sebagai leading sector pemberantasan korupsi bagi
pemerintah.
Maka dari itu, sangat pentinglah saat ini untuk sedikit demi
sedikit memberantas perilaku korupsi tersebut, sebab kalau tidak maka akan
banyak dampak yang akan rasakan oleh negeri itu sendiri dan juga masyarakat
yang ada. Diantara dampak itu adalah :
~
Kesejahteraan
umum Negara menjadi tergganggu
~
Rusaknya
demokrasi/menjadi tidak lancar
~
Menghambat
investasi dan pertumbuhan ekonomi
~
Melemahkan
kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan
~
Penurunan
kualitas moral dan akhlak
~
Mempersulit
Pembangunan Ekonomi
~
Menghambat
upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan
Bagaimana cara mengantisipasi itu
semua? Tidak lain hanya dengan satu cara yang paling berpengaruh menurut saya
yaitu, mulailah perbaiki diri sendiri sejak dini, sebab “tidak akan berubah
nasib suatu bangsa jika bangsa itu sendiri tidak berusaha merubah nasibnya
sendiri”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Korupsi
Korupsi
sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali mengenal tata
kelola administrasi. Pada kebanyakan kasus korupsi yang dipublikasikan media,
seringkali perbuatan korupsi tidak lepas dari kekuasaan, birokrasi, ataupun
pemerintahan. Korupsi juga sering dikatikan pemaknaannya dengan politik.
Sekalipun sudah dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hukum/kriminal,
pengertian korupsi dipisahkan dari bentuk pelanggaran hukum lainnya. Selain
mengkaitkan korupsi dengan politik, korupsi juga dikatikan dengan perekonomian,
kebijakan publik, internasional, kesejahteraan sosial, dan pembangunan
nasional. Begitu luasnya aspek-aspek yang terkait dengan korupsi hingga badan
dunia seperti PPB memiliki badan khusus yang memantau korupsi dunia. Sebagai
landasan untuk memberantas dan menanggulangi korupsi adalah memahami pengertian
korupsi itu sendiri.
Definisi
Berdasarkan Produk Hukum Nasional
Menurut
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bab
II, Pasal 2, Ayat 1 disebutkan:
“Perbuatan
korup diartikan sebagai tindakan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara”
Pasal
3 menyebutkan:
“Perbuatan
'Korup' dilakukan oleh setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukan yang dapat merugikan
negara atau perekonomian negara”
Berdasarkan kedua pasal tersebut, perbuatan
‘Korup’ adalah perbuatan yang dilakukan dengan memanfaatkan
jabatan/kedudukan/kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi yang dapat merugikan negara dan pereknomian negara. Menurut kedua
pasal tersebut, perbuatan ‘Korup’ adalah tindakan yang melanggar hukum.
Jika bersandar pada UU No 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka tindak pidana ‘Korupsi’ berlaku tidak
hanya pada institusi pemerintahan, akan tetapi bisa berlaku pula untuk
institusi di luar pemerintahan. Seperti kasus BLBI yang melibatkan sejumlah
pengusaha (perbankan) yang diduga menyuap pejabat pemerintah baik di tingkat
departemen maupun pejabat Bank Indonesia. Dari kasus-kasus korupsi yang
ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagian besar di antaranya
adalah kasus yang menyalahgunakan jabatan/kekuasaan. Kasus-kasus seperti ini
terdapat di tingkat pemerintahan pusat maupun daerah, termasuk di tingkat
legislatif pusat dan daerah.
Definisi Secara
Umum dan Internasional
Kata ‘Korupsi’ berasal dari kata asing, yaitu
‘Corrupt’ yang merupakan paduan dari dua kata dalam bahasa latin com
(bersama-sama) dan rumpere (pecah/jebol). Pengertian bersama-sama mengarah pada
suatu bentuk kerjasama atau suatu perbuatan yang dilakukan dengan latar
belakang kekuasaan. Konotasi bersama-sama bisa dimaksudkan lebih dari 1 orang
atau dapat pula dilakukan oleh satu orang yang memiliki kekuatan untuk
menggerakkan orang lain. Tentunya kekuatan atau kekuasaan yang dimaksudkan
adalah untuk kepentingan dirinya sendiri. Mengenai konotasi dari rumpere yang
berarti pecah atau jebol merujuk pada pengertian dampak atau akibat dari
perbuatan korupsi (bahasa latin lain adalah corruptus). Artinya, tindakan
korupsi dapat mengakibatkan kehancuran atau kerugian besar. Inilah yang
membedakan pengertian tindak korupsi dengan tindak kriminal biasa seperti
pencurian. Tindak pidana pencurian hanya mengakibatkan kerugian sepihak, yaitu
kerugian bagi korban, sedangkan korupsi dapat merugikan tidak hanya banyak
orang akan tetapi juga negara dalam jumlah besar.
Dari sekian banyak definisi tentang ‘Korupsi’
selalu menganalogkan atau mengkaitkan sebagai bentuk tindakan ilegal atau
melanggar hukum, tidak bermoral, dan tidak loyal dari seseorang yang memiliki
kekuatan untuk melakukannya. Kekuasaan berupa jabatan atau kedudukan merupakan
sarana dan sekaligus alat untuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan
kerugian bagi negara. Defini terkini tentang ‘Korupsi’ saat ini sudah mulai
meluas pada cakupan moral. Tindak ‘Korupsi’ bukan hanya sekedar kesempatan
untuk memanfaatkan jabatan/posisi, akan tetapi juga peluang untuk mendorong
terjadinya tindak ‘Korupsi’.
Apabila definisi tradisional tentang ‘Korupsi’
lebih banyak menyorot aspek pemegang kekuasaan atau seseorang yang memiliki
jabatan, maka definisi moderen menyoroti keseluruhan aspek dalam suatu negara
yang menyebabkan terjadinya tindak ‘Korupsi’ (Kurer, 2005). Indeks persepsi
korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) hanya mengukur tindak ‘Korupsi’
satu arah, yaitu persepsi/penilaian berdasarkan instansi ataupun pejabat yang
berwenang. Definisi moderen mengukur dari dua arah, yaitu dari instansi dan
masyarakatnya sendiri. Tindak ‘Korupsi’ tidak hanya terjadi karena adanya
kesempatan berupa jabatan ataupun kewenangan, akan tetapi juga karena adanya
kebutuhan. Pelaku perbuatan yang berakibat dilakukannya tindak ‘Korupsi’ adalah
mereka yang mendorong pihak lain yang dapat memanfaatkan jabatan ataupun
kewenangannya untuk kepentingan dirinya sendiri. Hingga sejauh ini, pengawasan
ataupun pemantauan terhadap tindak ‘Korupsi’ masih difokuskan pada pihak yang
memiliki jabatan atau kewenangan.
B.
Dampak Dari
Perilaku Korupsi
1.
Kesejahteraan umum Negara menjadi tergganggu
Korupsi politis ada di banyak
negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis
berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya
rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang
melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME).
Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada
perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
2.
Demokrasi menjadi tidak lancar
Korupsi menunjukan tantangan serius
terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan
tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses
formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi
akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem
pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik
menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi
mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur,
penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena
prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan
dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
3.
Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Chetwynd et al (2003),
korupsi akan menghambat pertumbuhan investasi. Baik investasi domestik maupun
asing. Mereka mencontohkan fakta business failure di Bulgaria yang mencapai
angka 25 persen.
Maksudnya, 1 dari 4 perusahaan di
negara tersebut mengalami kegagalan dalam melakukan ekspansi bisnis dan
investasi setiap tahunnya akibat korupsi penguasa. Selanjutnya, terungkap pula
dalam catatan Bank Dunia bahwa tidak kurang dari 5 persen GDP dunia setiap
tahunnya hilang akibat korupsi. Sedangkan Uni Afrika menyatakan bahwa benua
tersebut kehilangan 25 persen GDP-nya setiap tahun juga akibat korupsi.Menurut
Mauro (2002),Setelah melakukan studi terhadap 106 negara, ia menyimpulkan bahwa
kenaikan 2 poin pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK, skala 0-10) akan mendorong
peningkatan investasi lebih dari 4 persen. Sedangkan Podobnik et al (2008)
menyimpulkan bahwa pada setiap kenaikan 1 poin IPK, GDP per kapita akan
mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen setelah melakukan kajian empirik
terhadap perekonomian dunia tahun 1999-2004. Menurut Gupta et al (1998).
Menyatakan fakta bahwa penurunan skor IPK sebesar 0,78 akan mengurangi
pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin sebesar 7,8 persen. Ini
menunjukkan bahwa korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan dalam
menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
3.
Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam
menjalankan program pembangunan.
Pada institusi pemerintahan yang
memiliki angka korupsi rendah, layanan publik cenderung lebih baik dan lebih
murah. Terkait dengan hal tersebut, Gupta, Davoodi, dan Tiongson (2000)
menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi ternyata akan memperburuk layanan
kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya, angka putus sekolah dan kematian bayi
mengalami peningkatan.Sebagai akibat dampak pertama dan kedua, maka korupsi
akan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
Terkait dengan hal ini, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan
IPK sebesar 2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin.
Artinya, kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin akan semakin
melebar. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya aliran dana dari
masyarakat umum kepada para elit, atau dari kelompok miskin kepada kelompok
kaya akibat korupsi.
4.
Korupsi berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.
Baik individual maupun masyarakat
secara keseluruhan. Selain meningkatkan ketamakan dan kerakusan terhadap
penguasaan aset dan kekayaan korupsi juga akan menyebabkan hilangnya
sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama. Rasa saling percaya yang merupakan
salah satu modal sosial yang utama akan hilang. Akibatnya, muncul fenomena
distrust society, yaitu masyarakat yang kehilangan rasa percaya, baik antar
sesama individu, maupun terhadap institusi negara. Perasaan aman akan berganti
dengan perasaan tidak aman (insecurity feeling). Inilah yang dalam bahasa
Al-Quran dikatakan sebagai libaasul khauf (pakaian ketakutan). Fakta
bahwa negara dengan
tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat ketidakpercayaan
dan kriminalitas yang tinggi pula. Ada
korelasi yang kuat di antara ketiganya.
5.
Mempersulit Pembangunan Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan
ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan. Korupsi juga
mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan
yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena
kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan
pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan
mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa
ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan
hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga
mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi
dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang
tidak efisien. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik
dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana
sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas
proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya
menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan
syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan
menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.Para pakar ekonomi
memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi
di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan
sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar
negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering
benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda
sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu
potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk
pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain.
Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai
1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun,
melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian
pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu
teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya
adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru
sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini
memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar
negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
7.
Korupsi akan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan
kesenjangan pendapatan.
Terkait dengan hal ini, riset Gupta
et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan IPK sebesar 2,52 poin akan
meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin. Artinya, kesenjangan antara
kelompok kaya dan kelompok miskin akan semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh
semakin bertambahnya aliran dana dari masyarakat umum kepada para elit, atau
dari kelompok miskin kepada kelompok kaya akibat korupsi.
BAB III
ANALISIS
A.
Analisis Penyebab Perilaku Korupsi
Kenapa
orang yang rajin ibadah juga korupsi?
Dibawah ini
akan dibahas melalui pendapat beberapa tokoh dan juga beberapa pendekatan.
Ada yang
mengatakan bahwa ada tiga hal yang membuat mereka melakukan korupsi :
1. Psikologi
aliran “behaviouris” mengatakan bahwa perilaku manusia kebanyakan dipengaruhi
(tidak ditentukan) oleh faktor-faktor yang ada di luar dirinya. Antara lain
sistem pengawasan dari negara yang sangat lemah, sistem hukuman bagi koruptor
yang sangat ringan, sistem penegakan hukum yang rapuh, sistem politik yang
tidak profesional dan faktor lingkungan lainnya.
2. Di
samping faktor sistem yang buruk tersebut pada butir satu di atas, juga karena
faktor lingkungan kerja yang memang koruptif di mana korupsi sudah saling
keterkaitan antara individu dengan individu lainnya. Saling membenarkan dan
saling melindungi demi keuntungan bersama.
3. Faktor
kepribadian.
Menurut
Jack Bologne, akar penyebab korupsi ada empat : Greed, Opportunity, Need,
Exposes.
1.
Greed terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Koruptor
adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Punya satu gunung emas,
berhasrat punya gunung emas yang lain. Punya harta segudang, ingin punya pulau
pribadi.
2.
Opportunity
terkait dengan sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi.
Sistem pengendalian tak rapi, yang memungkinkan seseorang bekerja asal-asalan.
Mudah timbul penyimpangan. Saat bersamaan, sistem pengawasan tak ketat. Orang
gampang memanipulasi angka. Bebas berlaku curang. Peluang korupsi menganga
lebar.
3.
Need
berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah cukup, penuh
sikap konsumerisme, dan selalu sarat kebutuhan yang tak pernah usai.
4.
Exposes berkaitan dengan hukuman pada pelaku korupsi yang rendah. Hukuman
yang tidak membuat jera sang pelaku maupun orang lain. Deterrence effect yang
minim.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada
jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni :
a.
Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan,
hasrat, kehendak dan sebagainya),
b.
Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman,
adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya.
Dr. Andi Hamzah dalam disertasinya
menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni :
a.
Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan
dengan kebutuhan yang makin meningkat;
b.
Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia
yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
c.
Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang
kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;
d.
Modernisasi pengembangbiakan korupsi
Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab
korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam
bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi," antara lain :
1.
Aspek Individu
Pelaku
a.
Sifat tamak manusia; Kemungkinan orang
melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup.
Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar
untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang
dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
b.
Moral yang kurang kuat; Seorang yang moralnya
tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa
berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang
memberi kesempatan untuk itu.
c.
Penghasilan yang kurang mencukupi; Penghasilan
seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang
wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya
dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit
didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan
tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua
curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
d.
Kebutuhan hidup yang mendesak; Dalam rentang
kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal
ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan
pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
e.
Gaya hidup yang konsumtif; Kehidupan di
kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku
konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan
membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya.
Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
f.
Malas atau tidak mau kerja; Sebagian orang
ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas
bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan
cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.
g.
Ajaran agama yang kurang diterapkan; Indonesia
dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam
bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan
subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama
kurang diterapkan dalam kehidupan.
2.
Aspek
Organisasi
a.
Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan;
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh
penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik
di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar
bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
b.
Tidak adanya kultur organisasi yang benar;
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila
kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi
tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan
negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
c.
Sistim akuntabilitas yang benar di instansi
pemerintah yang kurang memadai; Pada institusi pemerintahan umumnya belum
merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan
dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna
mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan
penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak.
Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber
daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif
untuk praktik korupsi.
d.
Kelemahan sistim pengendalian manajemen;
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran
korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen
sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau
pegawai di dalamnya.
e.
Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam
organisasi; Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang
dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini
pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
3.
Aspek Tempat
Individu dan Organisasi Berada
a.
Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk
terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya,
masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini
seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan
itu didapatkan.
b.
Masyarakat kurang menyadari sebagai korban
utama korupsi Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan
dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi
itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga
karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.
c.
Masyarakat kurang menyadari bila dirinya
terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini
kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah
terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka
namun tidak disadari.
d.
Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan
bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat
berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang
menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut
melakukannya.
e.
Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi
mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang
dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan
kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang
disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak
konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan
perundang-undangan.
Sigmund
Freud merupakan pendiri Psikoanalisis. Teori Psikoanalisis fokus pada
pentingnya pengalaman masa kanak-kanak. Intinya, masa kanak-kanak memegang
peran menentukan dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku manusia ketika
dewasa kelak.
Ada
lima tahap perkembangan kepribadian dalam Psikoanalisis. Menurut Freud, manusia
dalam perkembangan kepribadiannya melalui tahapan oral, anal, phallis,
laten, dan genital.
1.
Tahap
oral, Pada tahap ini manusia melulu
menggunakan mulutnya untuk merasakan kenikmatan. Bayi selalu memasukkan ke
mulutnya setiap benda yang dipegangnya. Tahapan ini berlangsung pada 0-3 tahun.
2.
Tahap
anal, Inilah tahapan ketika anak
memperoleh kenikmatan ketika mengeluarkan sesuatu dari anusnya. Anak menyukai
melihat tumpukan kotorannya. Pada tahap ini anak dapat berlama-lama dalam
toilet.
3.
Tahap
phallis, Tahap phallis berlangsung pada umur
8-10 tahun. Anak memperoleh kenikmatan dengan memainkan kelaminnya.
4.
Tahap
laten, Anak melupakan tahapan memperoleh
kenikmatan karena sudah memasuki usia sekolah. Anak mempunyai teman dan
permainan baru.
5.
Tahap
genital, Inilah tahapan ketika perkembangan
kedewasaan mencapai puncaknya. Manusia sudah memasuki tingkat kedewasaan.
Tahap-tahap perkembangan ini berjalan normal, dari satu tahap ke tahap
berikutnya. Namun, bisa saja orang terhambat dalam perkembangan dini. Freud
menyebutnya fiksasi. Penyebabnya beragam, bisa karena orang tua, lingkungan
sosial, atau konflik mental.
Ada hubungan
antara tahapan perkembangan kepribadian anak dengan kondisi anak setelah
dewasa. Bila pada tahap-tahap itu terjadi fiksasi atau hambatan perkembangan
kepribadian., maka kepribadian itulah yang dibawanya sampai besar.
Sifat serakah
adalah sifat dari orang yang terhambat dalam perkembangan kepribadiannya, yaitu
ketika dia terhambat dalam tahap kepribadian anal. Seorang anak yang mengalami
hambatan kepribadian pada fase anal, ketika besar ia akan mempertahankan kepribadian
anal. Karakter orang ini ditandai dengan kerakusan untuk memiliki.
Ia merasakan
kenikmatan dalam pemilikan pada hal-hal yang material. Fase anal ditandai oleh
kesenangan anak melihat kotoran yang keluar dari anusnya. Kini, kotoran
telahdiganti benda lain. Benda itu berujud uang, mobil, rumah, saham, berlian,
emas, intan.
Koruptor adalah
anak kecil dalam tubuh orang dewasa. Badannya besar, jiwanya kerdil. Untuk
menyembuhkannya, hilangkan hambatan itu. Tunjukkan padanya bahwa pada dasarnya
dia belum dewasa. Kesenangan mengumpulkan harta adalah simbol perilaku
menyimpang akibat terhambat dalam perkembangan kepribadian di masa kanak-kanak.
Disini saya akan menjelaskan beberapa analisis penyebab perilaku
korupsi dari berbagai teori :
1.
Teori (pendekatan) Biologis
Seperti apa yang telah dikatakan oleh para ilmuwan, bahwa manusia
lahir dengan berbagai karakteristik yang berbeda. Perbedaan disini tergantung
pada naluri atau bawaan yang dibawa sejak lahir oleh masing-masing individu.
Dan naluri itulah yang akan menentukan dan membentuk perilaku pada diri
individu selama hidup. Dalam diri manusia memiliki naluri untuk menjadi
agresif. Konrad Lorenz dan juga ahli lain mengungkapkan pendapat bahwa dorongan
agresif ada di dalam diri manusia sejak lahir dan tidak bias dirubah.
Dalam kasus korupsi yang merajalela di negeri kita ini, menurut
saya kemungkinan yang pertama, mereka para pemimpin yang korupsi dalam dirinya
memang sudah terbawa karakteristik atau naluri agresi, rakus atau tamak, dan
material. Sehingga dengan itu, diketika mereka menjadi pemimpin yang
kesehariannya tidak lepas dengan yang namanya uang, maka disaat ada kesempatan
mereka akan rela untuk melakukan apapun termasuk korupsi demi memenuhi semua
keinginannya, tanpa memikirkan apa akibat yang akan diterimanya dan juga akibat
pada yang lain terutama kepada rakyat.
Kemungkinan yang kedua, mungkin mereka memang keturunan dari
orang-orang yang suka berbohong. Dan mungkin juga mereka adalah keturunan dari
orang-orang yang memang sudah terbiasa melakukan korupsi. Inilah hal yang
paling kuat bagi mereka untuk berperilaku korupsi disaat ada kesempatan. Sebab,
jika mereka sudah tahu bahwa keluarganya adalah orang yang terbiasa korupsi,
maka sangat gampang juga bagi mereka untuk menirunya, karena dalam diri mereka
terdapat gen korupsi yang dibawa dari sejak lahir.
2.
Teori (pendekatan) Belajar
Kebanyakan manusia yang hidup di dunia ini dalam berperilaku
kesehariannya disebabkan karena proses belajar. Proses belajar disini antara
lain lingkungan, pengalaman sebelumnya, dan idola.
Pertama adalah lingkungan. Telah kita ketahui bahwa sistem
pemerintahan yang ada di Indonesia khususnya dalam persoalan hukum yang tidak
tepat dan tidak jelas. Hampir semua permasalahan baik ekonomi, politik, dan
bahkan pendidikan pun tidak lepas dari yang namanya korupsi, mulai dari bawah
hingga ke daerah pusat. Untuk sekarang korupsi sudah merupakan hal biasa yang
sudah membudaya dimana-mana. Maka dari itu, meskipun orang baik-baik dan orang
suci pun jika sudah terjun dan berbaur dengan lingkungan pemerintahan yang
didalamnya terbiasa korup, sangat kecil kemungkinannya untuk tidak mengikuti
budaya itu. Sebab, lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan
perilaku seseorang.
Kedua yaitu pengalaman di masa lampau. Kebanyakan manusia dari
sejak kecil khususnya saat masih sekolah sudah mulai dipelajari benih-benih
dari korupsi. Salah satunya seperti kebohongan atau kecurangan disaat
pelaksanaan UNAS. Sehingga kalau dari kecil sudah dididik seperti itu, sangat
besar kemungkinan untuk meniru dan mengulangi kembali hal-hal yang bahkan lebih
buruk (korupsi). Selain itu juga, mungkin mereka para pemimpin yang koruptor
sebelumnya sudah terbiasa dengan gaya hidup yang bermewah-mewahan. Mulai dari
rumah mewah, mobil mewah, pakaian yang bagus-bagus, dan lain-lainnya. Sehingga
untuk memenuhi dan mempertahankan gaya hidupnya, cara yang paling cepat dan
mudah adalah mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Dan itupun tidak cukup jika
hanya mengandalkan gajinya. Maka dari itu, satu-satunya jalan yang harus
dilakukan hanyalah korupsi.
Ketiga adalah idola. Setiap manusia individu dalam hidupnya pasti
mempunyai seseorang yang diidolakan. Sedikit banyak mereka akan meniru dan
mengikuti perilaku dan pola hidup orang yang diidolakan. Nah, mungkin dalam kasus
korupsi ini mereka para koruptor juga memiliki seorang idola, contohnya
atasannya, jabatannya yang lebih tinggi atau yang lainnya. Sehingga kalau idola
mereka sudah korupsi, mereka akan kecewa dan rasa kekecewaannya mereka
lampiaskan dengan cara korupsi juga (atasan saya korupsi kenapa saya tidak).
3.
Teori (pendekatan) Insentif
Orang bertindak berdasarkan pilihan antara keuntungan dan kerugian
yang akan diperolehnya dari setiap perilaku. Orang memperhitungkan kerugian dan
keuntungan berbagai tindakan, serta secara rasional mengambil alternatif yang
paling baik. Mereka memilih mana tindakan memberikan keuntungan sebesar mungkin
dan kerugian sekecil mungkin. Edward menyatakan bahwa keputusan diambil atas
dasar nilai dari berbagai akibat keputusan yang mungkin, dan derajat ekspektasi
atau dugaan tentang akibat yang akan ditimbulkan oleh setiap keputusan.
Kembali pada kasus korupsi yang merajalela saat ini, mungkin disaat
ada kesempatan mereka memiliki pilihan antara melakukan korupsi atau tidak.
Kalau mereka memilih untuk melakukan korupsi, mereka berfikir yang jelas kalau
ketahuan akan dipenjara, malu, mungkin bisa dipecat dari jabatannya, dan
dicemooh banyak orang (pilihan negatif). Sedangkan kalau mereka tidak mengambil
korup dan membuang kesempatan emas itu mereka akan selamat dan tidak terancam,
namun merasa rugi (pilihan positif). Akan tetapi, mereka lebih memilih untuk
korupsi mungkin antara pilihan negatif dan positif, yang dapat menguntungkan
baginya adalah pilihan negatif. Karena mereka pikir pilihan itu lebih besar
keuntungannya dari pada kerugian yang akan diterima. Sebab, mereka belum tentu
diketahui akan perbuatannya itu. Walaupun nantinya diketahui, mereka bisa
membeli hukum dengan uang yang mereka punya itu.
Selain itu, mereka korupsi karena ingin mengembalikan uang modal
yang ia keluarkan pada saat mau mencalonkan menjadi pemimpin (contohnya para
caleg). Mungkin dia pikir pilihan negatif itu justru akan memberikan keuntungan
besar dan dia tidak peduli dengan akibat yang akan diterimanya. Yang penting
mereka mendapatkan uang sebanyak mungkin untuk kembali modal. Mereka menjadikan
kepemimpinan atau jabatan sebagai jembatan perbisnisan uang.
4.
Teori (pendekatan) Kognitif
Dalam kehidupan sosial perilaku seseorang tergantung pada caranya
mengamati situasi sosial. Dan hukum mengenai persepsi sosial sangat mirip
dengan hukum persepsi objek. Secara spontan dan otomatis orang
mengorganisasikan persepsi, pikiran, dan keyakinannya tentang situasi sosial ke
dalam bentuk yang sederhana dan bermakna, seperti yang mereka lakukan terhadap
objek. Tidak peduli bagaimana kacau atau rancunya situasi, orang akan selalu
mengadakan pengaturan. Dan organisasi ini, persepsi dan pengartian lingkungan
mempengaruhi perilaku kita dalam situasi sosial.
Kembali pada kasus korupsi, mungkin kebanyakan dari mereka
menginterpretasikan atau memaknai bahwa situasi sosial seperti korupsi adalah
suatu jalan yang bisa membuat hidup mereka cepat kaya. Dan dengan kekayaan
itulah mereka juga memaknai bahwa mereka akan menjadi orang terpandang (derajat
yang tinggi dalam masyarakat), dan bisa dianggap orang yang sukses serta
berhasil dalam hidupnya. Sebab, mayoritas manusia hidup di dunai ini yang
dipikirkan hanyalah materi, jabatan, dan terpandang di mata orang. Selain itu,
mungkin mereka juga menginterpretasikan atau memaknai bahwa korupsi bukanlah
hal yang mengancam atau membahayakan bagi dirinya, mereka sudah memaknai kalau
korupsi adalah hal biasa yang menjadi bagian dari pekerjaannya.
Namun dari beberapa pendapat di atas saya dapat menyimpulkan bahwa
penyebab yang paling berpengaruh besar terhadap perilaku korupsi yaitu karena
adanya motivasi dasar sifat serakah yang akut. Adanya sifat rakus dan tamak tiada
tara. Korupsi, menyebabkan ada orang yang berlimpah, ada yang terkuras, ada
yang jaya, ada yang terhina, ada yang mengikis, ada yang habis. Korupsi paralel
dengan sikap serakah.
B.
Upaya Penanggulangan Korupsi
Ada banyak upaya dalam menanggulangi atau memberantas perilaku
korupsi, diantaranya sebagai berikut :
a. Membuat
aturan/tata-tertib/kesepakatan/perjanjian, yang didasari akan kesadaran bahwa
seluruh organisasi mempunyai unsur manusiawi (karena anggota/individu-individu
di dalamny adalah manusia), sehingga berpeluang membuat kesalahan baik secara
sengaja dan maupun secara tidak sengaja.
b. Menerapkan
kaidah-kaidah manajemen modern, di ataranya adalah perencanaan kerja yang baik,
sehingga mudah dimonitoring, diarahkan, diberi motivasi dan mudah
diawasi/dikendalikan. Sehingga semua tindakan, keputusan, kebijaksanaan dapat
dipertanggunjawabkan.
c. Menetapkan
standar rekrutmen yang baik, dimana penerimaan calon penatalayanan harus
mempunyai (dilengkapi) syaratsyarat yang sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan. Dimana kriteria tersebut adalah kriteria kepribadian yang tepat
(jenis kepribadian yang sesuai, misalnya tingkat affiliasi tinggi, needs of
achievement tinggi, dlsb), motivasi, pengetahuan teknis, dan kejujuran moral.
d. Memperbaiki
mutu lulusan sekolah-sekolah tinggi, Perguruan Tinggi yang merupakan pabrik
penata-layanan, dengan menetapkan standar penerimaan yang cukup tinggi,
menetapkan standar minimal pencapaian prestasi yang cukup menjamin kualitas,
meramu kurikulum yang memuat unsur-unsur
manajemen modern, perilaku-organisasi, sosiologi, pengetahuan hukum, guna mendapatkan lulusan yang sadar akan keberadaannya, ditengah lingkungan masyarakat yang terus maju dengan cepat, dan tingkat kemajemukan yang tinggi.
manajemen modern, perilaku-organisasi, sosiologi, pengetahuan hukum, guna mendapatkan lulusan yang sadar akan keberadaannya, ditengah lingkungan masyarakat yang terus maju dengan cepat, dan tingkat kemajemukan yang tinggi.
e. Menindak
tegas seluruh pelanggaran organisasi yang bertujuan untuk mencari keuntungan
pribadi, guna mencegah timbulnya preseden buruk di kemudian hari. Karena
berdasarkan pengalaman banyak tindak korupsi yang terjadi adalah karena meniru
atau pengulangan.
f. Menanamkan
pemahaman bahwa organisasi mempunyai sifat manusiawi yang kental, yang tidak luput
dari kesalahan, dan harus diawasi jalannya, serta dikoreksi dari waktu ke
waktu.
g. Menerapkan
pembentukan karakter dalam dunia pendidikan
Pencegahan
korupsi adalah perkara yang tidak mudah diselesaikan karena ia merupakan sikap
yang terbentuk dari kebiasaan perilaku buruk sejak kecil. Solusi tepat bagi
pencegahan korupsi ini hanya bisa dilakukan dengan mempersiapkan generasi
mendatang yang berkarakter kuat yang memiliki prinsip-prinsip mulia yaitu
dengan menanamkan kebiasaan dan nilai-nilai kebaikan sejak dini. Hal ini dapat
dilakukan dengan pendidikan karakter yang dapat dimulai dari kalangan keluarga
sampai kepada pendidik sehingga kelak akan menjadi kebiasaan yang tertanam bagi
anak dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan
karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal-soal ujian dan tekhnik
menjawabnya. Pendidikan karakater memerlukan pembiasaan. Pembiasaan unutk
berbuat baik, pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria, malu berbuat curang,
malu bersikap malas. Karakter sesungguhnya tidak terbentuk secara instan,
tetapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan
kekuatan yang ideal.
Penanaman
nilai-nilai akhlak melalui pendidikan karakter sejak usia dini merupakan solusi
tepat untuk menyiapkan generasi bangsa yang bermoral yang bisa membentengi
dirinya dari godaan perilaku korupsi yang menguntungkan diri sendiri tanpa
merugikan orang lain . Hal ini dikarenakan sebab sejak dini ia sudah dibiasakan
untuk memegang teguh prinsip-prinsip hidup mulia sehingga perilaku-perilaku tersebut
kelak akan terbawa hingga ia dewasa. Dalam kaidah ushul fiqh dijelaskan bahwa
Al-‘a>dah Muhakkamah, bahwa kebiasaan-kebiasaan itu akan menjadi hukum,
begitupula dengan anak-anak yang sejak dini telah diberikan pendidikan karakter
dengan nilai-nilai akhlak yang luhur maka hal tersebut akan terbawa hingga
dewasa ia sehingga akan memegang teguh prinsip-prinsip mulia itu.
Sifat-sifat
buruk yang timbul dalam diri anak sebenarnya bukanlah merupakan bawaan dari
lahir sebagai fitrah, karena fitrah setiap anak itu ialah kesucian sebagaimana
termaktub dalam al-hadith:
كُلُّ
مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَليَ اْلفِطْرَةِ
Kullu mawluud yuulad ‘alal-fitrah.
“Setiap anak lahir dalam keadaan suci”
Bimbingan
intensif dari orang tua dan para pendidik terhadap anak sejak usia dini menjadi
sangat penting agar anak memiliki karakter yang baik. Hal ini disebabkan karena
pada hakekatnya keluarga adalah tempat paling pertama dan utama dalam
pendidikan karakter dan kepribadian seorang anak.
“The child thus, regulates his conduct according to a moral code
which he derives from the personality of his mother. Everything she believes to
be good, beautiful and true are regarded as ideal. This is the beginning of the
expression and satisfaction of his moral urge”.
Pembentukan
karakter seorang anak pada hakekatnya dapat dilihat dari bagaimana cara orang
tua terutama ibu dalam mendidik dan memberikan keteladanan kepada anak-anaknya.
Hasil bimbingan itu akan terlihat langsung saat anak secara berangsur-angsur
berkembang dan tampil ditengah kehidupan masyrakat. Dengan demikian perilaku
buruk yang timbul dalam diri anak dapat diakibatkan karena kurangnya peringatan
dini dari orang tua dan para pendidik. Semakin dewasa usia anak maka akan
semakin sulit bagi dirinya unutk merubah perilaku buruknya. Banyak orang dewasa
yang menyadari perilaku buruk tetapi sangat sulit untuk merubahnya karena sudah
sedemikan mengakarnya perilaku buruk tersebut dalam dirinya. Maka berbahagialah
para orang tua yang selalu memperingati dan dan mencegah anaknya dari perilaku
buruk seperti berlaku curang yang merupakan cikal bakal perilaku korupsi sejak
dini karena dengan demikian mereka sesungguhnya telah menyiapkan dasar mental
dan moral yang kuat bagi anak dimasa mendatang. Dengan demikian anak tersebut
telah diberikan pendidikan sejak dini yang menjadi solusi dalam pencegahan
perilaku korupsi.
BAB IV
KESIMPULAN
Perilaku korupsi pada hakekatnya disebabkan oleh lemahnya mental
dan moral serta nilai-nilai kebaikan yang dimiliki oleh para koruptor.
Kelemahan mental, moral, dan nilai-nilai kebaikan ini disebabkan karena proses
pendidikan yang hanya menitikberatkan pada aspek pengetahuan tanpa memberikan
porsi yang cukup bagi pendidikan karakter yakni pengembangan aspek sikap,
nilai, dan perilaku.
Penyebab yang paling berpengaruh besar terhadap perilaku korupsi
yaitu karena adanya motivasi dasar sifat serakah yang akut. Adanya sifat rakus dan tamak tiada
tara. Korupsi, menyebabkan ada orang yang berlimpah, ada yang terkuras, ada
yang jaya, ada yang terhina, ada yang mengikis, ada yang habis. Korupsi paralel
dengan sikap serakah.
Pencegahan korupsi adalah perkara yang tidak mudah diselesaikan
karena ia merupakan sikap yang terbentuk dari kebiasaan perilaku buruk sejak kecil.
Solusi tepat bagi pencegahan korupsi ini hanya bisa dilakukan dengan
mempersiapkan generasi mendatang yang berkarakter kuat yang memiliki
prinsip-prinsip mulia yaitu dengan menanamkan kebiasaan dan nilai-nilai
kebaikan sejak dini. Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan karakter yang
dapat dimulai dari kalangan keluarga sampai kepada pendidik sehingga kelak akan
menjadi kebiasaan yang tertanam bagi anak dalam kehidupan bermasyarakat.
REFERENSI
~
Marwan
Saridjo, Pendidikan Islam dari masa ke
masa (Bogor, Al-Manar Press, 2011)
~
Masnur
Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab
Tantangan Krisis Multidimensional (Jakarta, Bumi Aksara, 2011)
~
Adian
Husaini, Membentuk manusia berkarakter dan beradab (Bandung, Makalah
disampaikan pada seminar pendidikan karakter, 28 juli 2010)
~
KMI
Gontor Ponorogo, English Lesson For Class
Six: Mother and Moral Education (Gontor: Darussalam Press, 1992)