A.
Nama dan Tempat Lahir
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin
Katsir seorang imam, ulama’ dan mujtahid, ulama’ abad ini, kunyahnya Abu Ja’far
Ath Thobari. Beliau dari penduduk Aamuly, bagian dari daerah Thobristan, karena
itulah sesekali ia disebut sebagai Amuli selain dengan sebutan yang masyhur
dengan at-Thabari. Uniknya Imam Thabari dikenal dengan sebutan kuniyah Abu
Jakfar, padahal para ahli sejarah telah mencatat bahwa sampai masa akhir
hidupnya Imam Thabari tidak pernah menikah.[1] Beliau dilahirkan pada
akhir tahun 224 H awal tahun 225.
Para sejarawan yang menulis biografi
al-Thabari tidak banyak menjelaskan kondisi keluarga ulama besar ini.
Hanya saja, dari sumber yang sangat terbatas tersebut dapat disimpulkan bahwa
keluarga al-Thabari tergolong sederhana, kalau tidak dikatakan miskin, namun
ayahnya sangat mementingkan pendidikan putranya tersebut, sebagaimana yang akan
dijelaskan nanti.
Jika melihat factor lingkungan ketika
masa hidup Imam Thabari, maka di masa tersebut adalah masa dimana tradisi
keilmuan Islam mengakar kuatm terbukti dengan munculnya sejumlah ulama besar
dari daerah Amul, seperti Ahmad bin Harun al-Amuli, Abu Ishaq bin Basyar
al-Amuli, Abdullah bin Hamad al-Amuli dan ulama besar lainnya.[2]
Selain factor lingkungan, factor
keluarga juga sangat berperan penting dalam menumbuhkan semangat mencari ilmu
pada diri Imam Thabari. Beliau pernah bercerita dihadapan murid-muridnya
tentang dukungan ayahnya, Jabir bin Yazid kepadanya dalam menuntut ilmu dan
pengalamannya di masa kanak-kanak, Ibnu Jarir berkata: “Aku sudah hafal Al
Qur’an ketika aku berumur 7 tahun, dan sholat bersama manusia (jadi imam)
ketika berumur 8 tahun, dan mulai menulis hadist ketika berumur 9 tahun, dan
ayahku bermimpi, bahwa aku berada di depan Rosululloh dengan membawa tempat
yang penuh dengan batu, lalu aku lemparkan didepan Rosululloh. Lalu penta’bir
mimpi berkata kepada ayahku: “Sekiranya nanti beranjak dewasa dia akan berguna
bagi diennya dan menyuburkan syare’atnya, dari sinilah ayahku bersemangat dalam
mendidikku.[3]
Beliau banyak bersafar dan berguru
dengan ahli sejarah, beliau juga salah seorang yang memiliki banyak disiplin,
cerdas, banyak karangannya dan dan belum ada yang menyamainya.
B. Masa Belajar, Guru-guru dan
Murid-muridnya
Beliau banyak bersafar dan berguru
dengan ahli sejarah, beliau juga salah seorang yang memiliki ilmu banyak, dan
cerdas, banyak karangannya dan belum ada yang menyamainya.
Banyak kota-kota yang ia singgahi
sampai ia tidak puas dengan hanya memasukinya sekali, ia masuk ke kota tersebut
beberapa kali untuk memuaskan hasrat keilmuannya, di antara kota-kota tersebut
adalah Baghdad, di kota ini ia mengambil mazhab Syafi’iyyah dari Hasan
Za’farani, kemudian Bashrah, di kota ini ia belajar hadits kepada Abu Abdullah
as-Shan’ani, lalu di Kufah, di sana ia belajar ilmu puisi kepada Tsa’lab dan
masih banyak lagi kota lainnya seperti Mesir, Beirut dan Damaskus. Pada
akhirnya Imam Thabari sempat pulang ke tanah kelahirannya di Thaburstan pada
tahun 290 H, tapi tak lama kemudian kembali ke Baghdad dan menjadikannya tempat
persinggahan terakhir untuk mencurahkan seluruih aktifitas ilmiyahnya hingga
beliau wafat.
Guru beliau 40 orang lebih,
diantaranya: “Muhammad bin Abdul Malik in Abi Asy Syawarib, Ismail bin Musa As
Suddi, Ishaq bin Abi Isroil, Muhammad bin Abi Ma’sar, Muhammad bin Au
fat-Tha’i, Musa bin Sahal ar-Ramali, Muhammad bin Abdullah dan yang lainnya.
(didalam tafsir beliau didapatkan, bahwa guru beliau berjumlah 62 guru).
Imam al-Nawawi menambahkan sejumlah
nama guru al-Thabari lainnya, terutama mereka yang juga menjadi guru al-Bukhari
dan Muslim dalam bidang hadits, seperti Abd al-Malik ibn Abu al-Syawarib, Ahmad
ibn Mani` al-Baghawi, al-Walid ibn Syuja`, Abu Kuraib Muhammad ibn al-`Ala’,
Ya`qub ibn Ibrahim al-Dauraqi, Abu Sa`id al-Asyaj, `Amr ibn Ali, Muhmmad ibn
al-Mutsanna dan Muhammad ibn Yasar.[4]
Karena kedalaman ilmu Imam
ath-Thabari, maka wajar saja bila orang-orang ketika itu berlomba untuk
menampung samudera ilmu yang terpancar dari beliau. Di antara sekian banyak
ulama yang mengambil ilmu dari beliau : Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Nashr,
Ahmad bin Qasim bin Ubaidillaah bin Mahdi, Sulaiman bin Ahmad bin Ayub
al-Lakhmi, Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin Ali.
Teman-teman dari Ibnu Jarir
ath-Thabari, di antaranya : Ahmad bin Abdullah bin Ahmad al-Farghani,ia
juga meriwayatkan karangan dari Ibnu Jarir, di antara karangan al-Faraghani
adalah Sirah al-Aziz Sulthan al-Mishr dan kitab Sirah Kafur
al-Ihsyidi. [5], Ibnu Yazid Abi Bakar
al-Qardhi, yang menjadi hakim di daerah Kufah, di antara karangannya adalah
kiab Gharib al-Quran, kitab al-Qiraat, kitab at-Taqrib fi Kasyfi al-Gharib,
dan kitab al-Mukhtashar fi al-Fiqh.
C. Mobilitas, Aktivitas dan Hasil
Karyanya
Al-Thabari dapat dikatakan sebagai
ulama multi talenta dan menguasai berbagai disiplin ilmu. Tafsir, qira’at,
hadits, ushul al-din, fiqih perbandingan, sejarah, linguistik, sya`ir dan
`arudh (kesusateraan) dan debat (jadal) adalah sejumlah disiplin ilmu yang
sangat dikuasainya. Namun tidak hanya ilmu-ilmu agama dan alat, al-Thabari
pandai ilmu logika (mathiq), berhitung, al-Jabar, bahkan ilmu kedokteran.
Penguasaan al-Thabari terhadap
berbagai disiplin ilmu ini menjadi catatan sendiri para ulama sepanjang masa,
sehingga tidak heran sederet predikat dan sanjungan disematkan kepadanya.
Al-Khathib al-Baghdadi (w.463H) salah satunya. Dalam kitab Tarikh Baghdad, ia
menyatakan, “Al-Thabari adalah seorang ulama paling terkemuka yang
pernyataannya sangat dipehitungkan dan pendapatnya pantas menjadi rujukan, karena
keluasan pengetahuan dan kelebihannya. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu yang
sulit ditandingi oleh siapa pun di masa itu”.
Pengakuan terhadap keilmuan al-Thabari
tidak hanya datang dari para ulama lintas generasi sesudahnya yang mengkaji dan
meneliti karya-karya besarnya, seperti Ibn al-Atsir (w.630H), al-Nawawi
(w.676H), Ibn Taimiyah (w.728H), al-Dzahabi (w.748H), Ibn Katsir (w.774H), Ibn
Hajar al-`Asqalani (w.852H), al-Suyuthi (w.911H) dan lain-lain. Tapi para ulama
yang hidup satu generasinya juga tidak kurang menyatakan kekaguman dan
pujiannya, di antara pujian mereka terhadap Imam thabari adalah sebagai
berikut :
Abu Sa’id berkata: “Muhammaad bin
Jarir berasal dari daerah Aamal, menulis di negri mesir. Lalu pulang ke Bagdad,
dan telah mengarang beberapa kitab yang monumental, dan itu menunjukkan luasnya
ilmu beliau. »
Al Khotib berkata: “Muhammad bin Jarir
bin Yazid bin Katsir bin Gholib: “Beliau adalah salah satu Aimmah Ulama’
(sesepuh ulama’), perkataannya bijaksana dan selalu dimintai pendapatnya karena
pengetahuannya dan kemulyaannya. Beliau telah mengumpulkan ilmu-ilmu yang tidak
penah ada seorangpun yang melakukannya semasa hidupnya. Beliau adalah seorang
Hafidz, pandai ilmu Qiro’at, ilmu Ma’ani faqih tehadap hukum-hukum Al Qur’an,
tahu sunnah dan ilmu cabang-cabangnya, serta tahu mana yang shohih dan yang
cacat, nasikh dan mansukhnya, Aqwalus Shohabah dan Tabi’in, tahu sejarah hidup
Manusia dan keadaanya. Beliau memiliki kitab yang masyhur tentang “sejarah umat
dan beografinya” dan kitab tentang “tafsir” yang belum pernah ada mengarang
semisalnya dan kitab yang bernama “Tahdzibul Atsar” yang belum pernah aku (Imam
Adz Dzahabi) lihat semacamnya, namun belum sempurna. Beliau juga punya
kitab-kitab banyak yang membahas tentang “Ilmu Ushul Fiqih” dan pilihan dari
aqwal para Fuqoha’.[6]
Imam Adz Dzahabi berkata: “Beliau
adalah orang Tsiqoh, jujur, khafidz, sesepuh dalam ilmu tafsir, imam (ikutan)
dalam ilmu fiqh, ijma’ serta (hal-hal) yang diperselisihkan, alim tentang
sejarah dan harian Manusia, tahu tentang ilmu Qiro’at dan bahasa, serta yang
lainnya.
Al Khotib berkata: “Aku mendengar Ali
bin Ubaidillah bercerita: “Sesungguhnya Muhammad bin Jarir dirumah selama 40
tahun, setiap harinya beliau menulis 40 lembar.[7]
Al Qodhi Abu Abdillah Al Qudho’i: “Ali
bin Nashir bin Ash Shobah telah menceritakan kepada kami, Abu Umar Uabidillah
bin Ahmad As Simsar, dan Abul Qosim Al Waroq: “Bahwa ibnu Jarir At thobari
berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Bagaimana pendapat kalian, bila aku akan
menulis tentang sejarah alam dari sejak Adam sampai sekarang ini? Mereka
bertanya: “Berapa banyakkah itu? Maka beliau menjawab, kira-kira 30 ribu
lembar, lalu mereka berkata: ” kalau begitu umurmu akan memutus pekerjaanmu
sebelum engkau bisa menyempurnakannya? Lalu beliau sadar, dengan berkata:
“Innaalillah! Lalu beliau mengurungkan niatnya. Kemudian beliau ringkas
karangan itu sebanyak 3000 lembar, dan ketika beliau ingin membuat tafsir,
berkata kepada mereka seperti itu.[8]
Beliau adalah seorang laki-laki yang
mempunyai ilmu yang sangat luas, maka tidak heran jika karangan beliau tak bisa
dihitung hanya dengan waktu 1000 detik. Namun sangat disayangkan, mayoritas
kitab beliau hilang dan tidak sampai kepada kepada kaum muslimin kecuali hanya sedikit.
Dan hasil karya Imam Thabari antara lain:
1.
1. Kitab Adabul Qodho’ ( Al Hukkam)
2.
Kitab Adabul
Manasik
3.
3. Kitab Adab an-Nufuus
4.
Kitab Syarai’al-Islam
5.
Kitab Ikhtilaful
Ulama’ atau Ikhtilaful Fuqoha’ atau Ikhtilafu Ulama’il Amshor fie
Akhkami Syaroi’il Islam.
6.
Kitab Al
Basith, tentang kitab ini beliau Imam Adz Dzahabi berkata: “Pembahasan
pertama adalah tentang thoharoh, dan semua kitab itu berjumlah 1500 lembar.
7.
7. Kitab Tarikhul Umam wal Muluk (Tarikhul Rusul wal
Muluk)
8.
Kitab Tarikhul
Rijal minas Shahabah wat Tabi’in.
9.
Kitab at-Tabshir.
10. Kitab Tahdzib Atsar wa Tafsiilust
Tsabit ‘Ani Rasulullah Saw Minal Akhbar. Az-Zahabi ketika mengomentari
kitab ini mengatakan bahwa kitab ini termasuk salah satu kitab istimewanya Ibnu
jarir, dimulai dengan sanad yang shadiq, lalu bebicara pada Ilal, thuruq dan
fiqih hadits, ikhtiklaf ulama serta hujjah mereka, dalam kitab ini juga
disebutkan makna-makna asing serta bantahan kepada Mulhiddin, kitab ini menjadi
lebih sempurna lagi dengan adanya sanad al-Asyrah, Ahlu al-Bait, al-Mawali dan
beberapa sanad dari Ibnu Abbas, dan kitab ini belum selesai pada akhir
kematiaannya, lalu ia mengatakan: jika saja kitab ini dkteruskan, niscaya bisa
sampai beratus-ratus jilid. [9]
11. Kitab Al Jaami’ fiel
Qira’at
12. Kitab Haditsul Yaman
13. Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni
‘Abdil Hakim
14. Kitab az- Zakat
15. Kitab Al ‘Aqidah
16. Kitabul fadhail
17. Kitab Fadhail Ali Ibni
Thalib
18. Kitab Mukhtashar Al
Faraidz
19. Kitab Al Washaya,
Dan masih banyak lagi kitab-kitab
beliau yang tidak kami sebutkan disini.[10]
Selain banyaknya bidang keilmuan yang
disentuh, bobot karya-karya al-Thabari sangat dikagumi para ulama dan
peneliti. Al-Hasan ibn Ali al-Ahwazi, ulama qira’at, menyatakan, “Abu Ja`far
[al-Thabari] adalah seorang ulama fiqih, hadits, tafsir, nahwu, bahasa dan
`arudh. Dalam semua bidang tersebut dia melahirkan karya bernilai tinggi yang
mengungguli karya para pengarang lain”.[11]
D. Akhlaq dan Perilaku Imam Thabari
Imam Thabari bukan berasal dari
keluarga yang mapan atau kaya, hal ini bisa dibuktikan dengan bekal dari orang
tuanya yang ketika dicuri ia tidak dapat menggantinya lagi. Begitujuga kisah
kelaparan yang dia alami selama di Mesir dan kiriman orang tuanya yang dikirim
terlambat, sehingga ia terpaksa menjual pakaiannya.[12] Al-Farghani
menyebutkan perkataan Imam at-Thabari berkata; suatu ketika kiriman dari orang tuaku
telat, hingga aku terpaksa merobek kedua lengan bajuku untuk kemudian aku jual.
Selanjutnya Imam Thabari menuliskan keadaannya tersebut dalam sebuah puisi:
”Ketika aku kesusahan kawanku tak
mengerti
Aku berusaha merasa kaya, hingga
kawanku menganggap aku kaya
Rasa maluku menjaga air mukaku,
kelembutanku membuat kawanku mencariku
Jika saja aku sia-siakan air mukaku,
niscaya jalan kepada kepopuleran akan mudah
Dua sifat yang tidak rela aku
melewatinya
Sombongnya sifat kaya dan hinanya
kemelaratan
Ketika kau kaya janganlah kau sombong
lagi ceroboh
Jika kau melarat maka sombongilah
waktu”
Hal ini cukup menguatkan kesimpulan
bahwa kehidupan Imam Thabari cukup memprihatinkan.
Keterbatasan ekonomi tersebut
tidak lantas melunturkan semangat Imam Thabari dalam menuntut ilmu, di
awal keberadaannya di Baghdad, at-Thabari berusaha mengatasai persoalan ini
dengan mengajar anak menteri Abu Hasan bin Khaqan, itupun dengan kesep[akatan
tidak menganggu waktu belajar Imam Thabari, dari pekerjaan barunya, Imam Thabari
menerima upah 10 dinar setiap bulan dan mendapat pinjaman 10 dinar untuk modal
pertama.[13]
Gaya hidup sederhana dan bersahaja ini
terus ia tanam hingga akhir hayatnya, Menteri al-Khaqani pernah pernah
menawarkan jabatan Hakim Daulah Abbassiyah kepadanya, tapi ia tolak. Tidak
hanya itu, at-Thabari juga menolak hadiah 1000 dinar dari menteri Al-Abbas bin
Hasan atas buku yang ia buat, al-Khafif.
Kedudukan yang begitu terhormat ini
tidak lantas merubah gaya hidupnya, malahan ia tetap berusaha hidup sederhana
dengan mengandalkan uang dari hasil panen yang ditinggalkan ayahnya di
Thaburstan, padahal jika mau, ia bisa hidup dalam gelimang kemewahan, ia
menggubah jalan hidupnya ini dalam sebuah puisi yang menarik untuk kita simak.
Ketika aku kesulitan uang
Tidak satupun sahabatku yang tahu
Tapi ketika aku punya uang
Sahabatku ikut merasakan kesenanganku
Rasa malu menjaga air mukaku
Rasa enggan meminta adalah sifatku
Andai saja aku tepis rasa malu
Jalan menjadi kaya terlalu mudah
bagiku.
E. Penghargaan Ulama Terhadap Hasil
Karya al-Imam at-Thabari
Banyak didapati pengakuan terhadap
Imam Thabari dalam usahanya mengembangkan Tafsir, seperti berikut ini:
Imam An Nawawi dalam Tahdzibnya
mengemukakan: “Kitab Ibnu Jarir dalam bidang tafsir adalah sebuah kitab yang
belum seorangpun ada yang pernah menyusun kitab yang menyamainya.[14] Beliau juga pernah
mengatakan: “”Umat telah bersepakat tidak ada yang menyamai tafsir beliau ini.”
[15]
Imam as-Suyuthi, seorang mufasir
menyatakan seperti berikut: “Kitab ibnu Jarir adalah kitab tafsir paling agung
(yang sampai kepada kita). Didalamnya beliau mengemukakan berbagai macam
pendapat dan mempertimbangkan mana yang lebih kuat, serta membahas I’rob dan
istimbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para pendahulu.” [16]
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah telah
memuji Imam Thabari, antara lain mengatakan: “Adapun tafsir-tafsir yang
ditangan manusia, yang paling dahulu adalah tafsir Ibnu Jarir Ath thobari,
bahwa beliau (Ibnu jarir) menyebutkan perkataan salaf dengan sanad-sanad yang
tetap, dan tidak ada bid’ah sama sekali, dan tidak menukil dari orang yang Muttahim,
seperti Muqotil bin Bakir[17] dan Al Kalbi.” [18]
As-Suyuthi telah meneliti thabaqah
mufasir sejak awal kemunculan ilmu ini, dan ketika sampai pada Abu Jafar, ia
menempatkannya pada thabaqah (tingkatan) yang pertama, kemudian ia berkata:
“jika engkau bertanya: Tafsir apa yang engkau sarankan dan dijadikan sebagai
bahan rujukan? Maka aku katakan: Tafsir Ibnu Jarir, yang para ulama telah
bersepakat bahwa belum ada kitab tafsir yang semisalnya.” [19]
Abu Muhamamad Abdullah bin Ahmad bin
Jafar al-Farghani mengatakan bahwa ia pernah bermimpi mengikuti Majlis
ilmu Abu Jafar dan manusia kala itu sedang membaca kitab Tafsir Ibnu jarir,
lantas aku mendengar suara dari antara langit dan bumi yang mengatakan:
Barangsiapa ingin mendengarkan al-Quran sebagaimana ia turun, maka dengarkanlah
kitab ini. [20]
F. Mazhab dan Aqidah Imam ath-Thabari
Al Faroghi berkata: “Harun bin Abdul
Aziz bercerita kepadaku:” Abu Ja’far At Thobari berkata: “aku memilih Madzhab
imam Syafi’I, dan aku ikuti beliau di Bagdad selama 10 tahun
As Suyuthi berkata dalam kitab
“Thobaqotul Mufassirin” hal: 3: “Pertama, beliau bermadzhab Syafi’I, lalu
membuat madzhab sendiri, dengan perkataan-perkataan dan petikan-petikan
sendiri, dan beliau mempunyai pengikut yang mengikutinya. Dan aqidahnya
adalah Aqidah Salaf as-Shalih
Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
Fatawanya mengatakan bahwa Imam Thabari adalah imam Ahlu Sunnah, hal ini beliau
katakan ketika membahas mengenai al-Quran kalamullah.
Imam Ibnu Qayyim mengatakan, yang
maknanya adalah bahwa Imam Thabari adalah Ahlu Sunnah. Hal ini dapat diketahui
dari tulisan beliau Sharih as-Sunnah. Dan masih banyak lagi pernyataan para
ulama mengenai aqidah beliau.